Lelaki – Sekarang
Tahukah kalian apa
kebohongan terbesar yang dihasilkan masyarakat? Sebuah harapan.
Manusia adalah makhluk
yang lemah. Dalam keterbatasannya mereka membohongi diri sendiri dengan sebuah
pikiran bahwa kelemahan mereka akan tertutupi pada akhirnya. Pikiran tadi
bernama harapan. Dan secara pribadi aku mulai menghentikan pikiran-pikiran
seperti itu. Harapan hanyalah sebuah angan-angan busuk yang tidak dapat
membuatmu bergerak kemana-kemana.
Tetapi malam ini, aku
mulai berharap. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak kulakukan.
Aku mengecek waktu di
HPku. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Entah berapa batang rokok yang
kuhabiskan. Mulutku terasa asam sekarang. Di luar mobilku mulai terdengar
nyanyian jangkrik dan serangga malam. Sementara mereka berusaha mencari
pasangan untuk berhubungan badan. Aku semakin merapatkan jaketku demi mengusir
udara dingin nan kelam.
Sialan.
HPku bergetar lagi. Dan
lagi-lagi aku mendiamkannya. Panggilan itu datang dari kesialan lain dalam
hidupku. Seorang wanita sudah berusaha memberikan sinyal padaku agar aku
melamarnya. Aku berpura-pura membutakan mata hatiku. Dan ia berpura-pura bahwa
aku sedemikian tidak sensitifnya sampai ia harus melacurkan sinyal ke arahku.
Berdua, kami memainkan drama pura-pura yang entah akan berakhir kemana.
Kuambil batang terakhir
dalam bungkus rokokku. Dan sekarang aku menyadari sudah berapa batang yang
berhasil kuhisap. Aku membuka pintu mobil dan menghirup udara malam. Dan
lagi-lagi kembali berharap kalau ia akan datang.
***
Wanita – Dulu
Pagi itu adalah pagi
yang paling terindah dalam hidupku. Bagaimana tidak, hari itu aku mulai
mengerti apa yang orang-orang bilang dengan cinta pada pandangan pertama.
Ia menunduk malu-malu.
Dapat kurasakan kegugupannya tertular sempurna padaku. Ia memperkenalkan
namanya. Dapat kudengar suaranya yang serak seakan menggerus perasaan aneh di
dalam perutku. Aneh, aku seharusnya berusaha untuk menghalau perasaan-perasaan
seperti ini dan memfokuskan perhatianku pada ujian kelulusan semester depan.
Tapi pada saat pikiran baik seperti itu melintas di otakku. Pandangan lelaki
itu menatap tepat ke arahku.
Aku terpana dan
terpanah sempurna olehnya.
Tidak seperti cerita di
film atau cerita romansa remaja. Wali kelasku tidak mendudukkannya di
sebelahku, belakangku, ataupun bangku di depanku. Yang ada ia menaruhnya jauh
di belakang kelas. Aku meliriknya sekilas saat ia melangkah melewati bangkuku.
Dan merutuki nasib yang berjalan tak seindah dalam dongeng.
Akhirnya, sisa senin
itu berjalan seperti biasa. Aku bahkan tak sempat lagi mengobrol dengannya. Di
akhir hari itu, saat aku menulis cerita tentang waktu yang berlalu di dalam
diary bersampul biru. Aku memutuskan untuk tidak memasukkan kalimat “pagi yang
paling terindah”. Sambil berharap-harap kalau pagi yang paling terindah akan
dapat sesegera mungkin kutulis di dalamnya.
***
Lelaki – Dahulu
Ia menatapku
lekat-lekat. Bola mata jernihnya samar-samar terlihat di antara kepulan asap
rokok yang menguar pekat. Aku menanyakannya sekali lagi. Sedikit retorik
memang. Namun entah mengapa aku merasa perlu mendengar permintaannya untuk kali
kedua. Setelah ia mengucapkannya kembali. Aku mengulurkan rokok yang kupegang
ke arahnya.
Tanpa sungkan ataupun
segan. Ia menghisap rokok dan mengepulkan asapnya tepat ke arahku. Kami berdua
tersenyum bersama. Lengkungan itu pun terbuka dan kami mulai berbagi tawa. Aku
sendiri tak tahu apa yang kami tertawakan. Akhirnya aku membiarkannya
menghabiskan rokok itu sementara aku menghabiskan waktuku untuk memandangi
lehernya.
Dan kami bercerita.
Wanita yang kukira polos seputih kertas ternyata menyimpan sejuta warna. Aku
diam, menikmati kisah yang ia bawa. Dengan durasi setengah batang rokok, aku
merasa sudah mengenalnya. Tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika penukaran
kata diantara kami berdua berlangsung selama satu bungkus rokok.
Teman sekelas kami
datang ke teras belakang rumahnya dan memanggil kami berdua. Meneruskan belajar
kelompok kami yang akan menghadapi ujian beberapa bulan lagi. Ia tersenyum dan
menyentuhkan jarinya di pergelangan tanganku sebelum beranjak pergi. Dari
kejadian singkat ini aku sudah mahfum kalau ia memang istimewa. Jika semua
rokok di dunia sudah habis dan aku mempunyai batang terakhirnya. Maka rokok itu
akan kuberikan padanya. Agar ia dapat menikmati kenikmatan dunia terakhir yang
tersisa.
***
Wanita – Sekarang
Rasanya aneh, biasanya
setelah aku berbicara dengan suamiku. Rasa rindu akan berdesir kencang seperti
ombak yang berdebur di dalam nadi. Namun kali itu rasanya hampa. Aku masih
sempat mengatakan aku mencintainya, tepat setelah ia berkata ia mencintaiku.
Dahulu waktu kami baru menikah. Perkataan itu mempunyai arti yang sangat dalam
sampai tak dapat kudefinisikan. Sekarang perkataan itu telah berubah menjadi
rutinitas semata.
Supir taksi yang
membawaku tampak melirik dari kaca depan. Atau mungkin ia sedang melihat kaca
spion? Aku berusaha tidak memikirkan itu. Alih-alih, aku menatap jalanan malam
yang lengang. Kota ini sudah berubah. Di sana-sini terlihat pembangunan. Namun
entah mengapa aku merasa lega. Kungkungan beton di tempat ini membuat jiwaku
terasa lepas. Entah mengapa.
Lampu merah sekali
lagi. Beberapa tukang becak tampak tertidur di dalam becak yang mereka
parkirkan di pinggir jalan. Dahulu sekali aku sering menaiki becak dengan
lelaki yang sangat kukenal. Waktu itu bahagia sangat kurasakan. Sampai-sampai
masa depan terasa tidak menakutkan dan masa lalu tidak penting untuk
dipertanggungjawabkan.
Aku membuka kaca taksi.
Mencoba menyesap aroma kehidupan malam. Ada aroma dan warna tertangkap dan
sulit untuk kulepas. Aku menepuk bahu supir taksi dan menyuruhnya untuk
menunggu sejenak. Aku membuka pintu dan berjalan ke arah aroma dan rasa itu
lahir. Sekembalinya aku dari luar, aku turut membawa seikat mawar merah untuk
menemani kembali perjalananku.
***
Lelaki – Sekarang
Dengan nanar aku
melihat asap terakhir yang mewarnai langit malam dengan sejumput putih.
Kuarannya menghilang disaput dinginnya malam. Kusandarkan tubuhku di samping
mobil. Sambil merapatkan jaketku untuk menghalau pelukan malam.
Satu setengah jam lagi
hari akan berganti. Aku mulai bertanya-tanya apakah wanita itu lupa? Atau
mungkin aku saja yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa hidup terus berjalan
dan kenangan akan memudar? HPku berdering lagi. Menyentakku dari sejuta
pikiran. Bertahun-tahun lalu di tempat ini kejadian yang tak mungkin kulupakan
terjadi. Nurani sialku pun iba terhadap wanita yang menelponku sedari tadi.
Kehadirannya ternyata tak mampu menggantikan kenangan yang semakin usang.
Suara jangkrik lagi.
Dan lagi-lagi suaranya membuatku kesal. Tapi ada suara lain yang membuatku
awas. Suara mobil yang berhenti tepat di ujung jalan. Dari dalamnya sesosok
wanita keluar. Jantungku menggedor dadaku tanpa sebab. Aku menarik napas.
Mencoba mengendalikan emosiku yang mendadak liar tak terkendali.
Semakin dekat, rambut
panjangnya dulu berubah. Semakin dekat, matanya yang jernih menatapku tanpa
mengganti arah. Semakin dekat, tangannya terangkat membawa sebuket mawar merah.
Dan ketika ia sudah berada di depanku. Wajahnya menunjukkan ekspresi marah yang
membuatku jengah.
Dan aku terdiam.
Mendengar lagi nyanyian penuh nafsu dari jangkrik malam.
***
Wanita – Dulu
Ciumannya terasa
hangat. Seperti bergelung di dalam selimut saat hari hujan. Saat bibir kami
menjauh, tawa canggung mengalir deras dari dalamnya. Aku menatap matanya lekat
saat ia membawa tangannya menelusuri pipiku. Dan kemudian, bibir kami menyatu
lagi.
Kejadian ini
berlangsung setelah tiga minggu kami resmi berpacaran. Kami berdua berjalan
menyusuri kota menaiki becak. Lalu berhenti di sebuah taman kecil yang
mempunyai pohon beringin raksasa. Entah siapa yang memulai. Sepertinya tangan
alam semesta memainkan tali boneka kami berdua dengan lincahnya. Kami berciuman
lagi dan lagi sampai mulutku terasa kering.
Kemudian ia
mengeluarkan rokoknya. Di sela-sela asap putih, kami berbagi bayangan tentang
masa depan. Ia akan kembali ke kota asalnya. Dan aku akan tetap berada di sini.
Dengan naifnya akan menunggu ia kembali. Atau mungkin dengan keras kepalanya
akan mengejarnya sampai nanti.
Ia memegang kepalaku
dengan lembut sambil menenangkanku. Ia berkata untuk tidak menakuti masa depan.
Hanya di depanku saja ia dapat berubah menjadi semanis ini. sementara di depan
yang lain ia selalu saja diam dan sentimental. Dan untuk itu aku bahagia.
Karenanya ia tak perlu memakai topeng saat bersama denganku.
Ketika hari sudah
malam. Kami berciuman sekali lagi dan dia akan mengantarku sampai rumah.
Sementara aku menatap punggungnya yang menjauh dari kamarku. Aku akan memegang
bibirku dan kembali mengingat kehangatan itu.
***
Lelaki – Dahulu
Lelaki bodoh adalah
lelaki yang membuat wanita mengeluarkan air matanya. Ayahku sering berkata
demikian. Dulu aku berpikir kalau kata-kata itu adalah taktiknya agak aku tak
menjahili adik perempuanku. Namun sekarang aku baru mengerti artinya. Ketika
wanita yang kucintai menangis sedari tadi. Dan bodohnya lagi aku tak dapat
mendekapnya.
Ia mengurung dirinya di
dalam kamar mandi. Tersedu-sedu sampai dapat kurasakan getarannya dari balik
pintu. Harusnya hari ini menjadi hari bahagia kami. Hari terakhir ujian dan
kami lepas dari segala kungkungan akademi. Namun yang ada, sisa hari ini kami
habiskan dalam kesedihan.
Aku meminta maaf
padanya. Ulang dan berulang kali. Namun perkataan itu ia jawab dengan tangisan.
Aneh sekali rasanya. Tadi pagi kulalui dengan gelisah karena ujian yang akan
kami lalui. Lalu siangnya kami habiskan dalam kelegaan. Sorenya kami tersapu
badai kebahagiaan setelah sebuah ketelanjangan yang kami rayakan. Dan malamnya
kami habiskan dengan kesedihan yang terasa membodohkan.
Akhirnya saat aku tak
tahu lagi harus berkata apa. Aku pun ikut duduk menyandarkan tubuhku di pintu.
Karena aku tahu ia melakukan hal yang sama di balik pintu yang lain. Dan saat
tangis wanita yang kucintai tak kunjung berhenti. Aku pun ikut menjatuhkan air
mata dan menangis.
Setelah tadi menyatukan
diri dalam cairan. Kini kami kembali bersatu mengeluarkan cairan.
***
Wanita – Sekarang
Barulah aku menyadari
kehebatan dari sang waktu. Wajahnya yang dulu muda sekarang tampak dewasa dan
berwibawa. Aku mengucapkan halo sambil menyapa dirinya. Ia membalasku dengan
suara serak tak bahkan tak dapat digerus waktu. Aku ingin sekali berbagi
cerita. Tapi sayangnya aku tahu bahwa waktu tidak akan pernah menunggu. Ia
mengambil kotak dari dalam mobilnya. Setelah itu kami berjalan menembus malam
berdua.
Taman ini tampak
berubah. Rumputnya menjadi tak terawat. Pohon beringin raksasa itu seperti
mengerdil dan tak nampak. Karena dahulu dari jarak sejauh ini aku sudah dapat
melihat puncak daunnya. Namun sekarang hanya kegelapan malam saja yang berhasil
kulihat.
Ujung jarinya tampak mengenai
sedikit jariku saat kami berjalan beriringan. Kejadian itu tidak berlangsung
lama. Karena ia langsung sigap berjalan di depanku dan menyingkapkan rumput
tinggi yang menghalangi jalan kami. Aneh, tujuh belas tahun berlalu dan ini
adalah pertemuan pertama kami. Ingin sekali aku menghambur ke pelukannya dan
bercerita tentang masa yang berjalan tanpa terasa. Tapi kami diam. Tidak tahu
harus berkata apa.
Pikiranku terpotong
seketika ketika mataku mulai menangkap keganjilan yang tampak tak nyata. Pohon
yang dulu berdiri kokoh itu telah hilang. Sisa batangnya telah berubah menjadi
tunggul kayu yang menghitam. Entah mengapa lututku terasa lemas dan aku duduk
terjatuh menghantam bumi. Di tengah senggukanku yang datang dengan konyolnya.
Dapat kurasakan rengkuhan tangan kokohnya memeluk tubuhku dengan hangat.
***
Lelaki – Dulu
Dapatkah kau disebut
sebagai pembunuh ketika kau menghabisi nyawa seseorang yang bahkan belum sempat
mengecap napas dunia?
Jantungku memukul-mukul
dadaku dengan keras sedari tadi. Seakan memberi isyarat padaku untuk kabur dari
tempat terkutuk ini. Tapi tangisan wanita di sampingku membuat kakiku bertahan.
Diam-diam aku berpikir apakah rasa bersalah ini dapat tercuci habis dari
hidupku setelah semua ini usai?
Namanya dipanggil
masuk. Dan aku dilarang untuk ikut. Saat-saat itu adalah saat paling terkelam
dalam hidupku. Aku tersungkur menghujam lembah. Di tengah keramaian tempat ini,
aku merasa kesepian. Detik demi detik berlalu dan setiap hitungannya membuatku
semakin pilu.
Dalam papahan wanita
lain ia keluar. Mukanya menyiratkan kesedihan dan kemarahan tak terpancarkan.
Aku ingin menangis, tapi tersadar bahwa aku harus berusaha tegar demi wanitaku
yang satu ini. Setelah wanita lain tadi melepaskan papahannya. Aku menangkap
tubuhnya yang terhuyung dan memeluknya erat.
Dalam kehangatan
pelukannya, kami berdua sadar bahwa kami telah menjadi pembunuh.
***
Wanita – Dulu
Tangannya terayun keras
menghantam bumi. Mencoba membuat sebuah lubang di atasnya. Sementara aku duduk
di salah satu akar pohon beringin yang menonjol tanpa malu. Sambil menggenggam
plastik hitam yang sekarang mengeluarkan bau amis masuk ke hidungku.
Ketika ia merasa
dalamnya cukup. Ia mengulurkan tangannya yang penuh keringat bercampur tanah ke
arahku. Aku menyambutnya dengan tergugu. Air mataku kembali menggumpal saat
plastik itu kami tanam. Tanpa ada doa ataupun upacara yang layak. Anak kami dan
aib yang menyertainya telah hilang dengan rapat.
Perasaanku kian
mendingin. Air mataku sudah habis terkuras, begitu pun energiku. Setelah ia
kembali menutup lubang tadi. Ia memelukku kembali dan mulai menangis. Menangis
tersedu sambil mengeluarkan ratapan pilu. Aku semakin mengencangkan pelukanku
padanya. Tahu bahwa ia sendiri belum sempat mengucapkan rasa berkabung dan
bersalahnya karena terlalu sibuk untuk tetap tegar demiku.
Kami terus berpelukan.
Tanpa menyadari bahwa itu adalah pelukan terakhir kami.
***
Lelaki – Sekarang
Aku menarik batang kayu
besar dan menaruhnya di samping makam yang kami buat tujuh belas tahun lalu. Diatasnya
kami duduk bersampingan sambil terdiam karena sibuk dengan pikiran
masing-masing.
Ia menaruh bunga yang
ia bawa di atas makam tadi. Sementara aku membuka kotak yang kubawa. Menaruh sebuah
kue ulang tahun dan lilin berbentuk angka tujuh belas. Kutarik korek api dari
kantung celana lantas mulai menyalakan lilin di atasnya. Dengan begitu saja
kami memulai ulang tahun paling nelangsa sejagad raya.
Setelah lagu ulang
tahun yang kami nyanyikan dengan sumbang. Kami mulai bercerita tentang
penyesalan yang usang dan kata maaf yang terlambat datang. Lambat laun aku
mulai sadar bahwa cincin kawin yang ia pakai adalah bukti sahih yang membuat
hatiku teriris perih. Aku memberinya selamat sambil memasang topeng penuh
senyuman yang menyesatkan.
Namun ia menangis. Ia merindukan
anak yang tak pernah kami besarkan. Mengenang pernikahan yang tak pernah kami
langsungkan. Dan mengingat ciuman yang dulu kami lakukan. Namun waktu tidak
pernah merubah intuisi seseorang. Aku bertanya dengan lembut apa yang
sebenarnya ia takutkan. Dengan bisikan yang hampir tak terdengar ia berkata
bahwa rahimnya mendapatkan trauma seperti yang dialaminya. Tujuh belas tahun
lalu ketika ia menggugurkan anak kami, ia pun turut menggugurkan kesempatannya
untuk mendapat anak yang lain lagi.
Dan ketika ia selesai
mengatakan hal tadi, suara jangkrik kembali berbunyi.
***
Wanita – Sekarang
Aku teringat tentang
kenangan malam sunyi. Saat aku bercerita dan ia selalu menjadi pendengar yang
setia. Tujuh belas tahun berlalu dan ia masih sama. Telinganya masih terbuka
untuk kubacakan nyanyian senandung semesta. Namun kali ini, setelah aku berbagi
kesedihanku padanya. Aku mulai bertanya.
Ia berkata ia masih
sendiri. Sangat kuherankan mengapa itu terjadi. Entah berapa manusia kuhitung
jatuh ke dalam pesonanya. Ketika aku bertanya sebuah alasan pasti, ia hanya
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh misteri.
Waktu sudah lewat dari
tengah malam. Dan janji kami untuk bertemu kembali pun sudah terpenuhi. Sementara
aku harus pergi untuk mengejar pesawat kembali. Ia berdiri dan menawarkan
tumpangan untuk sampai ke bandara. Aku berjongkok sambil kembali melontarkan
penyesalan yang tak berarti. Dan ia pun turut terdiam, membisikkan kata maaf
yang terlambat untuk disadari.
Kami berjalan
beriringan. Masuk ke mobil dan melindungi diri dari sentuhan angin malam. Kenangan
masa lalu kembali mengalir deras. Sementara aku menatap kuburan anak kami,
mobilnya berjalan menembus jalan. Mungkin aku tidak tahu apa yang akan
ditawarkan hidup esok hari. Namun aku berbalik dan mengukir janji kepadanya
untuk kembali lagi.
Dan ia setuju. Satu tahun
lagi, di tempat ini. Kami akan kembali berkabung untuk masa lalu yang kami
khianati dan masa depan lain yang tak mungkin kami miliki.