Tiba-tiba saja aku teringat pada
malam-malam saat istriku tidak bisa tertidur saat tubuhnya merasa pegal karena
harus mengandung anak kami. Di tengah heningnya malam ia mulai membisikkan
pertanyaan. Apa yang terjadi setelah sebuah cerita mencapai akhir? Apakah
kehidupan karakter di dalamnya akan terus berjalan? Atau mati setelah sang
penulis membubuhkan titik terakhir?
Dan seperti biasanya pertanyaan seperti
itu tidak akan pernah terjawab. Otakku yang bodoh ini kadang tidak mampu untuk
mencerna pemikirannya. Mungkin itulah salah satu kualitas yang kusukai dari
istriku. Dapat membuat lelaki sepertiku menjadi terlihat bodoh di depannya.
Kenangan itu mulai memudar saat
kemacetan jalan juga turut memudar saat aku memasuki kompleks perumahan kami.
Jalanan tampak lengang seperti kuburan. Matahari mulai terbenam di ufuk barat.
Aku membawa mobilku masuk ke dalam garasi. Sambil mencoba mengingat-ingat kapan
terakhir aku pulang. Sepertinya sudah tiga hari. Namun terasa seperti tiga
dasawarsa saja nampaknya.
Aku terdiam sejenak di dalam mobil.
Sambil memikirkan pertanyaan itu lagi. Jika hidup kami adalah cerita dan Tuhan
adalah penulisnya, apakah ia masih menuliskan kisah untuk istriku? Walaupun
ceritanya sudah tamat dan mencapai titik terakhir? Aneh sekali rasanya
membayangkan. Kisahku masih berjalan sementara kisahnya sudah berakhir.
Bukannya kami sudah berikrar sehidup semati? Haruskah aku mengakhiri kisahku
juga untuk menepati janji tersebut?
Tapi kemudian sebuah suara menyadarkanku
dari lamunan. Jeritan tangis yang membuatku bertahan dengan untuk terus
melanjutkan hidup. Aku pun menoleh ke arah kursi penumpang di sebelahku yang
telah kupasang dengan baby car seat. Kisah
istriku mungkin sudah mencapai titik terakhir. Tapi kisah anak kami bahkan belum
selesai di bab pertama. Dan sudah tugaskulah untuk menjaganya sampai kisahku
sendiri yang akan mencapai titik terakhir.
***
Istriku juga pernah bertanya demikian.
Jika semua kata sifat itu relatif, adakah yang mutlak dalam sifat suatu benda
atau makhluk hidup? Jujur saja aku tidak mengerti maksud pertanyaannya waktu
itu. Tetapi sekarang aku paham benar apa yang ia maksud.
Waktu suster mengajariku cara membuat
susu formula di rumah sakit. Ia memberitahuku kalau susunya harus hangat. Jangan
panas jangan pula terlalu dingin. Tapi setelah sampai di rumah dan aku
mempraktekan hal yang sama. Kulit tanganku mulai melupakan memorinya. Sehangat
apakah susu ini harus dibuat?
Bayiku tidak berhenti menangis sedari
tadi. Mungkin ia lapar. Atau mungkin ia hanya menangisi nasib buruknya saja
yang harus mempunyai ayah seburuk aku. Setelah hampir lima menit aku mencampur
air ke dalam botol susu dan mencobainya ke telapak tanganku, aku mulai
menyodorkan susu itu ke mulutnya. Khawatir sangat kurasakan. Bagaimana kalau
susunya terlalu panas? Atau mungkin terlalu dingin? Mungkin juga botolnya belum
steril atau susunya masih menggumpal?
Tapi sepertinya kekhawatiranku tidak
beralasan. Ia mulai menyedot susu itu dengan semangat. Mau tak mau aku merasa
sedih. Umurnya belum menginjak sebulan dan ia sudah harus meminum susu
artifisial seperti ini.
Seketika aku jadi rindu pada istriku.
Kata sifat ternyata memang relatif. Rinduku saat ini terasa jauh lebih
menyakitkan dibandingkan saat pemakamannya. Walaupun waktu itu aku merasakan
rindu yang paling rindu di dalam hidupku. Rinduku kali ini terasa semakin
membelenggu.
Diam-diam aku melirik ke arah dinding
rumah kami. Dimana semua pigura yang dulunya memajang foto istriku sudah
kubalik menghadap dinding. Menyisakan kertas berwarna cokelat yang menghiasi
bingkai foto di rumah ini. Aku sendiri lupa kapan aku melakukan hal itu. Kemungkinan
saja sehari atau dua hari setelah kematiannya. Yang juga berarti sehari atau
dua hari setelah kelahiran anakku.
Sesaat setelah bayiku tertidur dan aku
mencoba melakukan hal yang sama. Aku membuka bajuku dan berjalan dalam
ketelanjangan menuju kamar mandi. Mencoba membasuh tubuhku yang terasa
berkeringat sedari tadi. Tapi tetap saja hangatnya air tak mampu membuat hangat
perasaanku yang kutahu sudah dingin membatu.
Istriku menyukai keteraturan. Kalian
harus tahu hal itu. Maka ketika ia membelikan satu set piyama berpola sama
untukku, dirinya, dan bayi kami. Waktu itu kami hanya tertawa optimis. Mencoba
membayangkan kebahagiaan yang akan kami rasakan nantinya. Tapi sekarang,
setelah melihat tiga stel pakaian
tersebut. Sesak yang kurasakan di hari kematiannya datang lagi membelitku.
Mungkin aku bisa saja mencoba untuk
membalik semua bingkai foto berisi dirinya. Atau tidur hanya memakai celana
piyama tanpa memakai baju berpola sama yang ia beli. Tapi ketika aku akan
menggosok gigiku, sikat giginya dan milikku masih bertengger di sana. Di gelas
plastik tinggi berwarna hijau. Seakan-akan mengejek, ‘hey, kami saja masih
berdua. Kasihan sekali kau harus sendiri malam ini’.
Aku tahu butuh waktu untuk tidak
merasakan lagi sesak di dalam dadaku. Malam itu, aku tidur tanpa memakai baju
ataupun sehelai selimut. Hawa dingin pendingin ruangan membelai tubuhku. Dengan
sengaja kupasang mesin itu di suhu terendah. Aku tahu aku akan menggigil
kedinginan. Tapi setidaknya rasa sesak itu tidak akan kurasakan karena
terkalahkan oleh dingin yang mendekapku dengan kejam.
***
Beratnya hanya tiga koma enam kilo.
Dengan panjang empat puluh dua koma tujuh sentimeter. Tapi siapa yang menyangka
makhluk sekecil itu mampu mengeluarkan tangisan sekeras hujan badai di musim
topan. Sudah beberapa kali aku terbangun mendengar suara tangisnya. Saat itu
terjadi aku akan menggendongnya perlahan dan membuainya di gendonganku sampai
ia kembali terlelap.
Aku seakan melayang. Ia kembali menangis
dan kini aku sedang berjalan mondar-mandir di dapur. Entah sudah berapa kali
siklus ini terulang. Mataku seakan digantung dengan batu yang berputar. Tak
mampu untuk kubuka. Bayi kami masih menangis saat aku membuka kulkas. Di tengah
tumpukkan kotak makanan yang dibawakan teman-temanku, aku mengambil sebotol air
dan mulai meneguknya.
Perlu kalian ketahui kalau aku masih
menggendong bayi kami dengan satu tangan saat aku meneguk air. Dengan
cerobohnya tutup botol itu tergelincir dari tanganku dan jatuh tepat di kepala
makhluk kecil itu. Aku panik. Ia mulai menangis dengan keras. Perlu beberapa
waktu bagiku untuk menenangkannya. Dan saat ia mulai kembali tenang. Aku
menaruhnya lagi di dalam tempat tidur kecilnya. Untung saja aku tidak
menyisakan luka di keningnya. Ketika aku benar-benar yakin kalau ia sudah
tertidur pulas, aku kembali ke kamarku. Mencoba menyambung tidurku yang sedari
tadi terputus.
***
Sudah pukul empat pagi saat aku duduk di
ranjangku. Uap dingin tampak menguar dari lantai ruangan ini. istriku dulu
pernah berkata kalau kita tidak tidur selama empat hari berturut-turut maka
pikiran kita akan mulai memproduksi halusinasi. Sejujurnya aku memang hanya
tidur selama dua sampai tiga jam saja sehari. Setidaknya selama sebulan
terakhir. Mungkin saja efeknya sama. Aku mulai berhalusinasi sekarang.
Dengan secercah keraguan kuambil bingkai
foto kecil yang bertengger di meja yang ada di samping ranjangku. Foto di
dalamnya sudah dibalik. Dengan penuh kantuk kukeluarkan foto itu dan kulihat
kembali isinya. Sambil bertanya-tanya seberapa besarkah usaha yang perlu
kukeluarkan untuk menghapus rindu ini.
Apakah sebesar usahaku untuk menyebut
ranjang kami menjadi ranjangku?
Atau bayi kami menjadi bayiku?
Kutekan erat foto itu didadaku. Seakan-akan
dengan begitu gambaran dirinya akan terceplak di sana. Tak akan terhapus bahkan
saat memoriku menua dan tak mampu lagi mengingat rupa.
Kurasakan kulit punggungku yang
telanjang mulai dicumbui kain selimut. Aku menatap langit-langit kamarku. Merasakan
dadaku mulai penuh. Entah dengan kelelahan atau emosi yang tak tertahan. Diam-diam,
suaramu mulai mengelus telingaku, memanggil-manggil namaku.
“Kenapa kamu pergi?” Tolehku
lamat-lamat. Karena di sisiku ia sudah menatap lekat-lekat.
Tapi ia hanya tersenyum. Tanpa membalas
pertanyaanku.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Jika kamu bisa memilih antara aku dan
anak kita, manakah yang akan kamu pilih?”
“Jadi, ini adalah pilihanmu?”
Lagi-lagi ia tersenyum, “Aku hanya
manusia biasa. Tidak akan mungkin Tuhan memberikan pilihan seperti itu padaku.
Tapi kalau memang aku bisa memilih maka inilah pilihanku.”
Aku mengangkat tanganku dan mulai
menyentuh pipinya. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, nyatakah ini semua?
“Jika kamu bisa memilih. Apa yang akan
kamu pilih?” ia bertanya padaku.
Tapi aku hanya diam. Tak mampu berkata apa-apa.
Dari kejauhan aku mendengar suara bayi
yang menangis. Awalnya terasa jauh. Tapi lambat-laun tangisan itu terdengar
semakin dekat. Aku menatap dirinya lekat. Menikmati senyuman yang terpancar di
matanya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan. Muka
istriku mendekat. Ia mencium bibirku singkat lalu berkata di telingaku dengan cepat.
“Jaga anak kita.”
Sekedip mata ia menghilang. Dan sekedip
mata pula tangisan itu mengencang. Perlu beberapa detik bagiku untuk sadar dari
apapun yang terjadi barusan dan beranjak untuk menenangkan bayiku.
Ralat, bayi kami.
***
Awalnya aku sangat ragu untuk membawa
bayiku pulang. Butuh waktu tiga minggu bagiku, dan para dokter, untuk
menyakinkan diri bahwa aku harus membawa bayiku pulang. Aku takut aku tak bisa
menjaganya. Atau malah secara tak sengaja bukan tak mungkin aku membunuh bayi
ini. Maksudku,
umurku belum menginjak seperempat abad. Pengalamanku dalam hidup ini tidaklah terlalu banyak. Aku bahkan tidak yakin dapat
menjaga diriku sendiri semenjak kematian istriku.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi dan
beralasan sekarang. Ia tidak berhenti menangis. Walaupun susu sudah kuberikan
dan popoknya sudah kuganti. Aku menggendongnya sambil berjalan mondar-mandir di
sekeliling dapurku. Dengan irama yang teratur kuayun tubuh rapuhnya dalam
gendonganku. Tapi tetap saja ia tak bergeming.
Dapat kurasakan air matanya mulai
mengalir turun di dada telanjangku. Apa yang harus kulakukan? Apa ada yang salah
dengan perawatanku sedari tadi? Dapat kurasakan kalau tangisnya mulai
mengeluarkan suara kering. Seakan-akan udara di paru-parunya mulai habis. Aku mulai
panik, dengan emosi itu semakin kuayun tubuhnya tanganku.
Tapi ia tak juga berhenti menangis. Napasku
mulai sesak. Ketakutan yang luar biasa mulai mencengkeramku dengan kejamnya. Ia
menangis. Aku pun mulai ikut menangis. Mungkin hanya keheningan malam saja yang
tegar menjalani hidup ini. Tanpa adanya tangis dan kesedihan seperti yang kami berdua
rasakan.
Entah mengapa tangisku semakin tak
terkendali. Aku mulai merebahkan punggungku dan jatuh terduduk. Bodoh sekali
sebenarnya, mengapa malah tangisku melebihi tangisnya sekarang. Entah berapa
lama aku tersedu-sedu sambil terus mengayunkan tubuhnya saat kusadari kalau
hanya tangisku yang terdengar.
Dapat kulihat bahwa hidung bayiku
tertutup lendir yang membanjir. Dengan segera aku berdiri dan beranjak ke
kamarku, tempat tas bayi yang kubawa dari rumah sakit terletak. Satu tanganku
yang bebas bergerak liar mencari alat penyedot ingus. Bahkan aku tak sempat
untuk mensterilkannya dulu sebelum aku mulai memakai alat itu.
“Masukkan ke hidungnya pelan-pelan,”
ujarku kepada diri sendiri saat aku melakukan hal itu. Lambat-lambat lendir di
hidungnya mulai berpindah. Bayiku mulai mengeluarkan suara yang sulit
kudeskripsikan. Saat cairan itu sudah berpindah semua, dapat kulihat matanya
menatapku lekat. Manik matanya menancap mataku dengan lembutnya.
“Ini ayahmu, Nak,” bisikku. “Ini ayahmu.”
***
Matahari mengintip malu-malu saat aku
membawanya ke beranda rumahku. Dalam palungan selimut dan dekapan tanganku aku
membawanya melihat matahari pertama di rumah kami.
Entah mengapa aku merasa damai sekarang.
Bayiku sedang asyik dibuai mimpi sekarang. Mungkin ia bermimpi bertemu dengan
ibunya. “Titipkan salam cintaku padanya, Nak,” bisikku tepat di telinganya.
Ajaibnya ia tersenyum saat aku
membisikkan hal itu. Senyumnya bahkan berhasil menular di bibirku. Aku
membiarkan bibir mungilnya menyedot ujung telunjukku saat aku mulai bernyanyi. Sebuah
lagu yang berjudul sama dengan namanya dan nama ibunya.
Tiba-tiba saja mengetahui jawaban dan
alasan dari pertanyaan istriku. Jika aku harus memilih, tentu saja aku akan
mengorbankan diriku sendiri agar anak ini lahir. Agar ia mendapat kesempatan untuk
bernapas di muka bumi ini. Agar ia dapat menikmati cerahnya hangat mentari dan
damainya udara pagi.
Dan saat matahari sudah benar-benar
terbangun dari lelapnya. Aku menengadah menatap awan dan berucap dengan penuh
rasa sayang, “Terima kasih, Beth!”