Minggu, 12 Oktober 2014

[Cerpen] Beth



Tiba-tiba saja aku teringat pada malam-malam saat istriku tidak bisa tertidur saat tubuhnya merasa pegal karena harus mengandung anak kami. Di tengah heningnya malam ia mulai membisikkan pertanyaan. Apa yang terjadi setelah sebuah cerita mencapai akhir? Apakah kehidupan karakter di dalamnya akan terus berjalan? Atau mati setelah sang penulis membubuhkan titik terakhir?
Dan seperti biasanya pertanyaan seperti itu tidak akan pernah terjawab. Otakku yang bodoh ini kadang tidak mampu untuk mencerna pemikirannya. Mungkin itulah salah satu kualitas yang kusukai dari istriku. Dapat membuat lelaki sepertiku menjadi terlihat bodoh di depannya.
Kenangan itu mulai memudar saat kemacetan jalan juga turut memudar saat aku memasuki kompleks perumahan kami. Jalanan tampak lengang seperti kuburan. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Aku membawa mobilku masuk ke dalam garasi. Sambil mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku pulang. Sepertinya sudah tiga hari. Namun terasa seperti tiga dasawarsa saja nampaknya.
Aku terdiam sejenak di dalam mobil. Sambil memikirkan pertanyaan itu lagi. Jika hidup kami adalah cerita dan Tuhan adalah penulisnya, apakah ia masih menuliskan kisah untuk istriku? Walaupun ceritanya sudah tamat dan mencapai titik terakhir? Aneh sekali rasanya membayangkan. Kisahku masih berjalan sementara kisahnya sudah berakhir. Bukannya kami sudah berikrar sehidup semati? Haruskah aku mengakhiri kisahku juga untuk menepati janji tersebut?
Tapi kemudian sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Jeritan tangis yang membuatku bertahan dengan untuk terus melanjutkan hidup. Aku pun menoleh ke arah kursi penumpang di sebelahku yang telah kupasang dengan baby car seat. Kisah istriku mungkin sudah mencapai titik terakhir. Tapi kisah anak kami bahkan belum selesai di bab pertama. Dan sudah tugaskulah untuk menjaganya sampai kisahku sendiri yang akan mencapai titik terakhir.

***

Istriku juga pernah bertanya demikian. Jika semua kata sifat itu relatif, adakah yang mutlak dalam sifat suatu benda atau makhluk hidup? Jujur saja aku tidak mengerti maksud pertanyaannya waktu itu. Tetapi sekarang aku paham benar apa yang ia maksud.
Waktu suster mengajariku cara membuat susu formula di rumah sakit. Ia memberitahuku kalau susunya harus hangat. Jangan panas jangan pula terlalu dingin. Tapi setelah sampai di rumah dan aku mempraktekan hal yang sama. Kulit tanganku mulai melupakan memorinya. Sehangat apakah susu ini harus dibuat?
Bayiku tidak berhenti menangis sedari tadi. Mungkin ia lapar. Atau mungkin ia hanya menangisi nasib buruknya saja yang harus mempunyai ayah seburuk aku. Setelah hampir lima menit aku mencampur air ke dalam botol susu dan mencobainya ke telapak tanganku, aku mulai menyodorkan susu itu ke mulutnya. Khawatir sangat kurasakan. Bagaimana kalau susunya terlalu panas? Atau mungkin terlalu dingin? Mungkin juga botolnya belum steril atau susunya masih menggumpal?
Tapi sepertinya kekhawatiranku tidak beralasan. Ia mulai menyedot susu itu dengan semangat. Mau tak mau aku merasa sedih. Umurnya belum menginjak sebulan dan ia sudah harus meminum susu artifisial seperti ini.
Seketika aku jadi rindu pada istriku. Kata sifat ternyata memang relatif. Rinduku saat ini terasa jauh lebih menyakitkan dibandingkan saat pemakamannya. Walaupun waktu itu aku merasakan rindu yang paling rindu di dalam hidupku. Rinduku kali ini terasa semakin membelenggu.
Diam-diam aku melirik ke arah dinding rumah kami. Dimana semua pigura yang dulunya memajang foto istriku sudah kubalik menghadap dinding. Menyisakan kertas berwarna cokelat yang menghiasi bingkai foto di rumah ini. Aku sendiri lupa kapan aku melakukan hal itu. Kemungkinan saja sehari atau dua hari setelah kematiannya. Yang juga berarti sehari atau dua hari setelah kelahiran anakku.
Sesaat setelah bayiku tertidur dan aku mencoba melakukan hal yang sama. Aku membuka bajuku dan berjalan dalam ketelanjangan menuju kamar mandi. Mencoba membasuh tubuhku yang terasa berkeringat sedari tadi. Tapi tetap saja hangatnya air tak mampu membuat hangat perasaanku yang kutahu sudah dingin membatu.
Istriku menyukai keteraturan. Kalian harus tahu hal itu. Maka ketika ia membelikan satu set piyama berpola sama untukku, dirinya, dan bayi kami. Waktu itu kami hanya tertawa optimis. Mencoba membayangkan kebahagiaan yang akan kami rasakan nantinya. Tapi sekarang, setelah  melihat tiga stel pakaian tersebut. Sesak yang kurasakan di hari kematiannya datang lagi membelitku.
Mungkin aku bisa saja mencoba untuk membalik semua bingkai foto berisi dirinya. Atau tidur hanya memakai celana piyama tanpa memakai baju berpola sama yang ia beli. Tapi ketika aku akan menggosok gigiku, sikat giginya dan milikku masih bertengger di sana. Di gelas plastik tinggi berwarna hijau. Seakan-akan mengejek, ‘hey, kami saja masih berdua. Kasihan sekali kau harus sendiri malam ini’.
Aku tahu butuh waktu untuk tidak merasakan lagi sesak di dalam dadaku. Malam itu, aku tidur tanpa memakai baju ataupun sehelai selimut. Hawa dingin pendingin ruangan membelai tubuhku. Dengan sengaja kupasang mesin itu di suhu terendah. Aku tahu aku akan menggigil kedinginan. Tapi setidaknya rasa sesak itu tidak akan kurasakan karena terkalahkan oleh dingin yang mendekapku dengan kejam.

***

Beratnya hanya tiga koma enam kilo. Dengan panjang empat puluh dua koma tujuh sentimeter. Tapi siapa yang menyangka makhluk sekecil itu mampu mengeluarkan tangisan sekeras hujan badai di musim topan. Sudah beberapa kali aku terbangun mendengar suara tangisnya. Saat itu terjadi aku akan menggendongnya perlahan dan membuainya di gendonganku sampai ia kembali terlelap.
Aku seakan melayang. Ia kembali menangis dan kini aku sedang berjalan mondar-mandir di dapur. Entah sudah berapa kali siklus ini terulang. Mataku seakan digantung dengan batu yang berputar. Tak mampu untuk kubuka. Bayi kami masih menangis saat aku membuka kulkas. Di tengah tumpukkan kotak makanan yang dibawakan teman-temanku, aku mengambil sebotol air dan mulai meneguknya.
Perlu kalian ketahui kalau aku masih menggendong bayi kami dengan satu tangan saat aku meneguk air. Dengan cerobohnya tutup botol itu tergelincir dari tanganku dan jatuh tepat di kepala makhluk kecil itu. Aku panik. Ia mulai menangis dengan keras. Perlu beberapa waktu bagiku untuk menenangkannya. Dan saat ia mulai kembali tenang. Aku menaruhnya lagi di dalam tempat tidur kecilnya. Untung saja aku tidak menyisakan luka di keningnya. Ketika aku benar-benar yakin kalau ia sudah tertidur pulas, aku kembali ke kamarku. Mencoba menyambung tidurku yang sedari tadi terputus.

***


Sudah pukul empat pagi saat aku duduk di ranjangku. Uap dingin tampak menguar dari lantai ruangan ini. istriku dulu pernah berkata kalau kita tidak tidur selama empat hari berturut-turut maka pikiran kita akan mulai memproduksi halusinasi. Sejujurnya aku memang hanya tidur selama dua sampai tiga jam saja sehari. Setidaknya selama sebulan terakhir. Mungkin saja efeknya sama. Aku mulai berhalusinasi sekarang.
Dengan secercah keraguan kuambil bingkai foto kecil yang bertengger di meja yang ada di samping ranjangku. Foto di dalamnya sudah dibalik. Dengan penuh kantuk kukeluarkan foto itu dan kulihat kembali isinya. Sambil bertanya-tanya seberapa besarkah usaha yang perlu kukeluarkan untuk menghapus rindu ini.
Apakah sebesar usahaku untuk menyebut ranjang kami menjadi ranjangku?
Atau bayi kami menjadi bayiku?
Kutekan erat foto itu didadaku. Seakan-akan dengan begitu gambaran dirinya akan terceplak di sana. Tak akan terhapus bahkan saat memoriku menua dan tak mampu lagi mengingat rupa.
Kurasakan kulit punggungku yang telanjang mulai dicumbui kain selimut. Aku menatap langit-langit kamarku. Merasakan dadaku mulai penuh. Entah dengan kelelahan atau emosi yang tak tertahan. Diam-diam, suaramu mulai mengelus telingaku, memanggil-manggil namaku.
“Kenapa kamu pergi?” Tolehku lamat-lamat. Karena di sisiku ia sudah menatap lekat-lekat.
Tapi ia hanya tersenyum. Tanpa membalas pertanyaanku.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Jika kamu bisa memilih antara aku dan anak kita, manakah yang akan kamu pilih?”
“Jadi, ini adalah pilihanmu?”
Lagi-lagi ia tersenyum, “Aku hanya manusia biasa. Tidak akan mungkin Tuhan memberikan pilihan seperti itu padaku. Tapi kalau memang aku bisa memilih maka inilah pilihanku.”
Aku mengangkat tanganku dan mulai menyentuh pipinya. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, nyatakah ini semua?
“Jika kamu bisa memilih. Apa yang akan kamu pilih?” ia bertanya padaku.
Tapi aku hanya diam. Tak mampu berkata apa-apa.
Dari kejauhan aku mendengar suara bayi yang menangis. Awalnya terasa jauh. Tapi lambat-laun tangisan itu terdengar semakin dekat. Aku menatap dirinya lekat. Menikmati senyuman yang terpancar di matanya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan. Muka istriku mendekat. Ia mencium bibirku singkat lalu berkata di telingaku dengan cepat. “Jaga anak kita.”
Sekedip mata ia menghilang. Dan sekedip mata pula tangisan itu mengencang. Perlu beberapa detik bagiku untuk sadar dari apapun yang terjadi barusan dan beranjak untuk menenangkan bayiku.
Ralat, bayi kami.

***

Awalnya aku sangat ragu untuk membawa bayiku pulang. Butuh waktu tiga minggu bagiku, dan para dokter, untuk menyakinkan diri bahwa aku harus membawa bayiku pulang. Aku takut aku tak bisa menjaganya. Atau malah secara tak sengaja bukan tak mungkin aku membunuh bayi ini. Maksudku, umurku belum menginjak seperempat abad. Pengalamanku dalam hidup ini tidaklah terlalu banyak. Aku bahkan tidak yakin dapat menjaga diriku sendiri semenjak kematian istriku.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi dan beralasan sekarang. Ia tidak berhenti menangis. Walaupun susu sudah kuberikan dan popoknya sudah kuganti. Aku menggendongnya sambil berjalan mondar-mandir di sekeliling dapurku. Dengan irama yang teratur kuayun tubuh rapuhnya dalam gendonganku. Tapi tetap saja ia tak bergeming.
Dapat kurasakan air matanya mulai mengalir turun di dada telanjangku. Apa yang harus kulakukan? Apa ada yang salah dengan perawatanku sedari tadi? Dapat kurasakan kalau tangisnya mulai mengeluarkan suara kering. Seakan-akan udara di paru-parunya mulai habis. Aku mulai panik, dengan emosi itu semakin kuayun tubuhnya tanganku.
Tapi ia tak juga berhenti menangis. Napasku mulai sesak. Ketakutan yang luar biasa mulai mencengkeramku dengan kejamnya. Ia menangis. Aku pun mulai ikut menangis. Mungkin hanya keheningan malam saja yang tegar menjalani hidup ini. Tanpa adanya tangis dan kesedihan seperti yang kami berdua rasakan.
Entah mengapa tangisku semakin tak terkendali. Aku mulai merebahkan punggungku dan jatuh terduduk. Bodoh sekali sebenarnya, mengapa malah tangisku melebihi tangisnya sekarang. Entah berapa lama aku tersedu-sedu sambil terus mengayunkan tubuhnya saat kusadari kalau hanya tangisku yang terdengar.
Dapat kulihat bahwa hidung bayiku tertutup lendir yang membanjir. Dengan segera aku berdiri dan beranjak ke kamarku, tempat tas bayi yang kubawa dari rumah sakit terletak. Satu tanganku yang bebas bergerak liar mencari alat penyedot ingus. Bahkan aku tak sempat untuk mensterilkannya dulu sebelum aku mulai memakai alat itu.
“Masukkan ke hidungnya pelan-pelan,” ujarku kepada diri sendiri saat aku melakukan hal itu. Lambat-lambat lendir di hidungnya mulai berpindah. Bayiku mulai mengeluarkan suara yang sulit kudeskripsikan. Saat cairan itu sudah berpindah semua, dapat kulihat matanya menatapku lekat. Manik matanya menancap mataku dengan lembutnya.
“Ini ayahmu, Nak,” bisikku. “Ini ayahmu.”

***

Matahari mengintip malu-malu saat aku membawanya ke beranda rumahku. Dalam palungan selimut dan dekapan tanganku aku membawanya melihat matahari pertama di rumah kami.
Entah mengapa aku merasa damai sekarang. Bayiku sedang asyik dibuai mimpi sekarang. Mungkin ia bermimpi bertemu dengan ibunya. “Titipkan salam cintaku padanya, Nak,” bisikku tepat di telinganya.
Ajaibnya ia tersenyum saat aku membisikkan hal itu. Senyumnya bahkan berhasil menular di bibirku. Aku membiarkan bibir mungilnya menyedot ujung telunjukku saat aku mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang berjudul sama dengan namanya dan nama ibunya.
Tiba-tiba saja mengetahui jawaban dan alasan dari pertanyaan istriku. Jika aku harus memilih, tentu saja aku akan mengorbankan diriku sendiri agar anak ini lahir. Agar ia mendapat kesempatan untuk bernapas di muka bumi ini. Agar ia dapat menikmati cerahnya hangat mentari dan damainya udara pagi.
Dan saat matahari sudah benar-benar terbangun dari lelapnya. Aku menengadah menatap awan dan berucap dengan penuh rasa sayang, “Terima kasih, Beth!”

Kamis, 07 Agustus 2014

Bi Küçük Eylül Meselesi, Another Take of Beauty and the Beast Story from Turkey.





Jika berbicara mengenai perfilman Turki. Maka yang saya ketahui sama besarnya dengan pengetahuan saya mengenai mesin nuklir atau cara menghancurkan hati wanita, nol besar. Maka ketika saya menonton Bi Küçük Eylül Meselesi, saya benar-benar tidak menyimpan ekspektasi apa-apa. Dan syukurlah ketika film ini selesai, saya hanya dapat berpikir. Sh!t, this movie was surprisingly great.

Dibuka dengan satu adegan long shot yang mengenalkan kita pada sosok Eylül (Farah Zeynep Abdullah). Tipikal gadis perkotaan cantik yang untungnya tidak alay seperti gadis perkotaan di Indonesia. Eylül mengalami kecelakaan fatal sehingga mengidap short term memory loss. Dengan bantuannya temannya yang bernama Berrak (Ceren Moray), ia pun pergi ke Pulau Bozcaada untuk mencari kembali serpihan memorinya yang hilang.


Di pulau itu ia bertemu dengan Tekin (Engin Akürek) yang kadang dipanggil dengan nama Tek atau Lone, bahkan sampai akhir film pun saya tidak mengetahui siapa sebenarnya nama panggilan si Tekin ini. Seorang pelukis asli penduduk pulau yang menderita Agoraphobia dan, keanehan lain dari karakter ini, tidak bisa berenang walau tinggal di tepi pantai sepanjang hidupnya.

Intinya adalah, seperti film romance lainnya, mereka berdua bertemu di pulau ini dan Tekin meyakinkan Eylül kalau mereka berdua saling mencintai. Eylül sendiri tidak mempercayai cerita Tekin karena tidak mungkin gadis kota cantik seperti dirinya bisa mencintai pemuda kampung yang buruk rupa, walaupun wajah Tekin sebenarnya tidak dapat dibilang buruk rupa. Sepanjang film kita akan dibawa ke kisah Tekin yang meyakinkan Eylül kalau mereka berdua saling mencintai dan perjuangan Eylül untuk mendapatkan kembali ingatannya yang hilang.



Dibesut dengan cantik oleh sutradara Kerem Deren yang juga menulis skenario dari film yang dapat diartikan judulnya sebagai A Little September Affair. Tidak seperti film-film Eropa yang kebanyakan mempunyai ending menggantung yang kurang ajar dan membuat kita tak bisa tidur, segala penjelasan mengenai kisah Eylül dan Tekin terjawab dengan pasti di akhir film. Bahkan sebuah twist yang membuat para wanita dan lelaki yang berhati melankolis akan menangis bombay tidak dapat tertebak dengan mudah.

Jalinan kisah Eylül dan Tekin terbingkai dalam gambar cantik Pulau Bozcaada yang tertangkap cantik oleh sinematografer Gökhan Tiryaki, seorang DoP kondang asal Turki. Tapi acungan jempol terbanyak justru harus diberikan kepada dua orang karakter utama film ini, Farah Zeynep Abdullah sebagai Eylül dan Engin Akürek sebagai Tekin. Keduanya bermain pas tanpa berlebih. Belum lagi chemistry antara mereka berdua yang sangat believeable tanpa dibuat-buat.

Akhir kata, film ini sangat layak untuk ditonton. Apalagi saya pernah membaca entah dimana kalau film ini adalah film yang kembali mengangkat perfilman Turki. Seperti film Ada Apa Dengan Cinta yang juga mengangkat kembali perfilman Indonesia.
>,<

Kamis, 31 Juli 2014

[Cerpen] Scortum et Mentula Meam



Disclaimer
 Untuk 18 atau 21 tahun ke atas. Pastikan anda cukup umur dan mental untuk membaca cerita satu ini.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Semua karena istriku. Jeritku dalam hati. Ia tidak mau melayaniku. Bayi di dalam perutnya dapat terluka, ia beralasan. Dalam murkaku kutinju wajahnya. Siapa yang perduli dengan bayi itu. Mereka dapat dibuat kembali dalam kenikmatan. Tapi istri bodohku tidak mau percaya. Akhirnya kembali kuhias wajahnya dengan kuas bogemku sampai ia membiru. Bahkan lukisan Picasso pun tak dapat menandingi keindahannya.
Kubanting pintu rumah kami keras-keras ketika aku keluar. Biar semua tetangga tahu apa yang terjadi. Istriku tidak becus mengurus rumah tangganya sampai suaminya meninggalkan rumah. Asu! Teriakku kencang-kencang saat ku beranjak pergi. ASU! Teriakku berkali-kali sampai tetangga kiri-kananku keluar memenuhi jalan.
Mereka berusaha menanyaiku apa yang terjadi. Kemungkinan ingin mendapat bahan gosip terbaru saat ibu-ibu berbelanja sayur di pagi hari atau saat bapak-bapak beronda di malam sepi. Tapi aku terus beranjak. Ketika mereka mulai berbisik-bisik lagi di belakangku, aku mulai berteriak sekali lagi,
ASU!

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Aku berjalan di perempatan dosa. Tempat para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak ditengahnya menjajakan tubuh kepada para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak di tengahnya. Aku datang ke salah satu rumah bordil milik Fajar. Ia berpikir kalau aku adalah kawannya. Sedangkan aku berpikir kalau ia hanyalah sampah yang kerjaannya hanyalah menghargai tubuh manusia dalam rupiah yang bisa dibayar. Dasar bajingan.
Namanya Ratih, kata Fajar padaku. Umurnya lima belas tahun. Ranum, bagaikan buah terlarang yang ada di taman surgawi. Fajar berkata kalau ia masih perawan. Belum pernah tersentuh lelaki. Kecuali payudaranya tentu saja. Karena Fajar pasti sudah menjamah bagian itu. Tapi aku tidak perduli. Perawan atau tidak, selama ia punya lubang di bagian depannya dan payudara yang menggantung bebas. Aku bersedia. Dan bernafsu dengan lapang dada.
Fajar memanggil gadis itu ke dalam kamar. Seorang gadis berkulit putih dan berbibir merah merekah seperti mawar yang ditanam istriku di depan rumah. Kemaluanku berontak seketika. Fajar, selaiknya mucikari sejati, tahu apa yang terjadi padaku. ia menyuruh Ratih membuka dua kancing teratas dari kemeja ketat yang ia pakai. Menunjukkan belahan kewanitaan yang membuatku makin terangsang.
Dan kurasakan air liurku mulai menggenang.
Tawar menawar mulai berlangsung. Fajar menyebut tujuh digit angka. “Sudah lengkap dengan kamarnya, sobat,” obralnya padaku. Tapi aku tidak membawa uang sedemikian banyak. Kemudian ia berkata kalau Ratih akan diberikan kepada lelaki lain dan dia akan menawariku lubang yang berbeda, lebih murah dan lebih longgar tentunya. Tapi aku tidak mau. Aku ingin merasai Ratih malam ini.
Setelah beberapa saat berlalu, kesepakatan terjadi dan telah disetujui. Aku menggandeng tangan Ratih. Menariknya dengan tidak sabar. Keluar dari kamar tempat kami bertransaksi. Meninggalkan Fajar dan cincin kawinku sebagai alat pembayaran.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Kemeja yang dikenakan Ratih kurobek dengan paksa. Membuat dua gundukan rahasia terbebas dari rahasianya. Seperti sepasang mata yang tadinya mengintip malu-malu, sekarang tengah melotot tanpa tanpa tertutup kelopak mata. Kedua hitam ditengahnya melotot ke arahku. Merayu-rayu tanpa menyimpan malu. Mengais-ngais sampai membuatku meringis.
Ratih terus menunduk. Diam-diam ia mengangkat tangannya dan menutup apa yang tersaji di hadapanku. Kupegang kedua lengannya dan kubanting ia ke tempat tidur. Ranjang reyot yang sudah berjuta kali merasai kulit telanjang para pasangan nista yang menidurinya. Ratih menjerit pelan, kedua tangannya melepaskan buah dadanya yang berguncang. Membuat nafsuku ikut menjerit pelan.
Kulepas semua kain dan benda tak berguna yang menutupi kaki beserta selangkangannya. Ahh, desahku pelan. Sebuah pintu surga menganga di depanku. Dari tempat seperti itulah aku dilahirkan. Kalau bisa, aku ingin masuk lagi ke dalamnya. Bersemayam dengan rapi dan menikmati hidup dalam sepi.
Ratih mengeluarkan campuran antara desah dan tangis dari mulutnya. Membuat kepalaku terasa terbakar. Kubasahi gelambir itu dengan kuas lidahku. Menjelajahi liangnya seperti manusia prasejarah yang baru menemukan gua baru untuk ditinggali. Makin lama suara tangisnya menghilang. Bibir atasnya semakin mendesah dan bibir bawahnya semakin basah.
Aku bahkan tidak tahu kapan jahitan kain yang menutupi tubuhku terbuka sudah. Tubuhku bebas menciumi angin, sama seperti ketika aku terlahir dulu. Polos seperti tubuh Ratih. Yang tengah kunikmati saat ini.
Kutarik tubuhnya dengan keras sampai ia terduduk. Menyentak desahan kaget keluar dari mulutnya. Aku berdiri dengan tegak. Setegak kemaluanku yang tengah berada tepat di kedua matanya. Dapat kulihat ekspresi yang tak tergambarkan memancar deras di matanya. Seperti mata ayam mati yang biasa dibeli istriku di pasar. Gelap, namun memberi sejuta iba di dalam kelamnya.
Hisap! bisikku lamat-lamat. Ia mulai menangis dengan semangat. Aku tarik rambutnya dan kujambak dengan erat. HISAP! Bentakku amat sangat. Mulutnya malah semakin merapat. Tak kuasa menahan nafsu yang menyayat. Kutampar pipinya sampai sakit terasa di telapak tanganku dan terus merambat.
Rasa sakit yang sama juga pasti merambat di pipi Ratih. Bahkan lebih, jeritan mengiris perasaan mulai terlolong keluar dari mulutnya. Sayangnya jeritan itu tidaklah berhasil mengiris nafsuku. Yang ada darahku semakin kencang mengalirkan libido yang bertumpah ruah mengisi venaku.
Setelah beberapa tamparan dan jeritan dan air mata. Ratih membuka mulutnya. Menyerah pada keadaan dan takdir yang membawanya padaku. Aku merasakan hangat saat mulutnya pelan-pelan merasuk. Menghisap kejantananku di kelembutan wanitanya. Tak sabar, aku menyodok pinggulku pelan. Membuat Ratih tersedak seketika.
Hangat, tubuhku bergetar pelan dalam kenikmatan yang tak dapat kugambarkan.
Hangat, keringatku mulai mengucur deras dalam ritme hisapan yang tak beraturan.
Hangat, pilar duniaku terasa hangat di dalam permainan yang Ratih tawarkan.
Tapi lama kelamaan, hangat itu berubah menjadi tak wajar dan mengkhawatirkan. Saat aku melihat ke bawah. Kepala ratih sudah mundur ke belakang. Kulihat darah mengucur pelan, alih-alih lendir yang mengandung jutaan bibitku. Pondasi kelelakianku menghilang. Mengendap pelan diantara gigi-gigi Ratih. Aku bahkan belum sempat menjerit ketika ia mendorongku jatuh. Badanku terjungkal kebelakang saat ia berlari meninggalkanku sendiri.
Terdengar suara lantai yang berdebam pelan. Seketika lalu lenyap, semua kebisingan yang kudengar. Otakku serasa dipijat oleh tangan lentik Dewi Aphrodite. Kejang penuh kenikmatan melanda tubuhku dengan kasarnya. Diam-diam aku melihat, semburan lahar putih mulai beterbangan di atas mataku. Berkas cahaya jingga dari lampu kamar ini berlarian melintasi membrannya.
Cerah! ujarku dalam hati. Hari ini awan terlihat cerah.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Fajar dengan bodohnya menyuruhku tenang sementara ia menyuruh anak buahnya mencari pelacurnya yang kabur. Sementara aku masih menekan luka di selangkanganku dengan kain putih yang kini berubah menjadi merah. Ia mulai menanyaiku macam-macam. Sudahkah? tanyanya padaku. Aku menggeleng tak mengerti. Sudahkah kau menjebol liangnya?
Kutonjok pipinya kencang. Ia menjerit jatuh menghantam tanah. Kejantananku hilang dan ia malah memikirkan keperawanan pelacurnya. Kutendang perutnya cepat, berulang-ulang. Sebelum para penjaga rumah bordil yang kelebihan otot mendengar kalau orang yang menjongosi mereka kupukuli, kutarik kain merah dari selangkanganku. Kuremas pelan dan kusumpalkan langsung ke mulut fajar. Sementara ia tersedak oleh darahku yang mulai terkuras dari kain itu. Aku melangkah pergi. Keluar untuk mencari kelelakianku.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Sejatinya, tempat ini berbau seperti sampah. Karena orang-orangnya bertindak seperti sampah dan dianggap seperti sampah. Maka tidak heran aku harus menutup hidungku rapat-rapat. Agar baunya tidak mencemari otakku saat menyusuri deretan lorongnya.
Aku berjalan tanpa tahu tujuan. Beberapa wanita berusaha menarik tangan yang tengah menutupi selangkangan berdarahku. Dengan kasar kutepis tangan mereka, sampai-sampai kami berdua menjerit kecil. Ia menjerit karena kaget dan aku menjerit karena lukaku yang kaget sehingga ia berdenyut sakit.
Kutengok ke bawah, darah masih mengucur dengan tenangnya. Otakku terasa lumpuh perlahan. Mungkin saja dia sudah kekurangan oksigen. Saat tatapanku masih mengarah ke bawah, aku melihat jejak darah melintas di jalan depanku. Tertutup genangan air dan muntahan berwarna kuning dan putih. Aku mengikutinya tergesa-gesa. Seorang lelaki gemuk telanjang tergeletak menghalangi jalan. Ia mencengkeram ujung celanaku saat aku lewat. Tolong, bisiknya pelan. Nafsuku mati rasa.
Kutendang kakiku kearah mukanya. Meninggalkan lesakan dalam di antara kedua matanya. Ia menjerit terpendam. Saat aku kembali beranjak ia berteriak lantang-lantang, penismu sudah hilang. Jangan kau cari, ia tak sudi menempel di tubuh lelaki jalang.
Tanpa kupedulikan, aku terus mengikuti jejak darah yang kulihat. Lama-lama semakin mengecil. Lalu menghilang di depan sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Tubuhku semakin lemas. Kesadaranku berusaha melepaskan diri sedari tadi. Namun aku harus terus melangkah. Tonggak kebanggaanku harus tak boleh hilang begitu saja.
Kutelusuri gedung itu, sepertinya bangunan ini akan dihancurkan. Gelap dan kelam menyapa diriku. Membuat tubuhku hilang dalam malam. Telingaku menjadi awas. Kudengar suara-suara rintihan yang membuat kudukku berdiri pelan. Tiba-tiba saja aku melihat sosok wanita duduk di tangga beton yang rusak. Saat aku mendekat, ia berdiri dengan cepat. aku tidak dapat melihat dengan jelas mukanya. Tapi melihat bentuk payudaranya. Aku tahu itu Ratih. Pelacur yang menggigit putus penisku.
Kembalikan, ujarku parau. Kembalikan!
Aku maju selangkah, ia mundur dua langkah. Tubuhku semakin lemas. Dengan ratapan yang entah datang darimana, aku mencoba untuk membujuknya.
Tolong, kembalikan. Tanganku terjulur padanya. Tolong.
Akhirnya ia mendekat. Cahaya bulan mulai menampari wajahnya. Membuatku dapat melihat dengan jelas. Serpihan darah kering terjiplak keras di sekitar dagunya. Ia membuka mulutnya, dapat kulihat sebatang daging berwarna cokelat terkulai lemas di atas lidahnya. Dengan tidak santainya, isi perutku berlari keluar menuju mulutku. Beterbangan menodai lantai kelabu.
Tolong, ujarku pelan sesaat kemudian. Kembalikan.
Ia mulai berbicara, namun aku tidak dapat mendengar jelas ucapannya. Setelah beberapa kali ia berkata, akhirnya dapat kudengar jelas apa yang ia ucapkan.
Tolong, racaunya. Kembalikan.
Aku mengangkat satu alisku. Tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apa?
Kembalikan. Ia mendekat. Menjulurkan tangannya padaku. Seperti pengemis di tengah perempatan. Akhir ia menjelaskan pertanyaaannya padaku. Meminta sesuatu yang tak dapat kuberikan padanya.
Kembalikan, kembalikan dulu harga diriku.
Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Saat tubuhku tak kuasa lagi menahan kesadaran. Ia menutup mulutnya rapat. Hal terakhir yang kulihat adalah tenggorokkannya yang menelan penisku sebelum akhirnya aku terjatuh.
Masuk ke dalam kegelapan dan tidur. Mungkin untuk selamanya.