Jumat, 12 Juni 2015

[puisi] Penantian


Ini adalah penantian yang penuh harap. 
Selaiknya penyair belunjur di atas atap. 
Menunggu inspirasi yang mengetuk masuk ke dalam otak. 
Diam-diam merangkai kata menjadi puisi yang cakap. 

Ini adalah penantian yang penuh luka. 
Seperti seorang ibu yang berkorban demi anaknya. 
Berpeluh kesah menghidupi sang buah cinta. 
Meratap-ratap sampai mereka kelak dewasa. 

Ini adalah penantian yang penuh tanda tanya. 
Seperti petani yang menyemai padi di pagi buta. 
Menunggu tunasan benih berbulan-bulan lamanya. 
Tanpa pernah tahu berapa banyak tuaian yang diterima. 

Ini adalah penantian yang penuh cemas. 
Seperti peziarah yang berjalan di bebatuan keras. 
Mendaki hari sampai tenaga terkuras. 
Terisau pilu dengan peluh yang menderas. 

Ini adalah penantian yang penuh papa. 
Seperti kupu-kupu yang menunggu dalam pupa. 
Menanti-nanti saat mereka berganti rupa. 
Menunggu sebuah asa di dalam hidup mereka yang hampa. 

Ini adalah penantian yang penuh tanda. 
Pada akhirnya kau dan aku akan berjumpa. 
Dan mungkin ini semua tidak akan berakhir bahagia. 
Tapi setidaknya aku pernah mengecap sang bahagia. 
Bersamamu dalam penantian dan perjumpaan kita. 

Senin, 08 Juni 2015

[puisi] Kau Adalah

Engkau adalah batu pijakan.
Tempat lelah kakiku menaruh harapan.
Tempat letih punggungku mencari tumpuan.
Tempat risau jiwaku menanti jawaban. 

Engkau adalah inspirasi.
Alasanku untuk merangkai puisi.
Alasanku terjaga sampai mentari pagi.
Alasanku terlelap dengan senyum dimalam hari. 

Engkau adalah cahaya.
Menuntut jalanku di lembah tak berwarna.
Memberi alasan di kala hidupku terasa hampa.
Memeluk ragaku saat aku merasa tak berharga. 

Engkau adalah sang surya.
Yang datang di kala gelap menyapa.
Yang memberi alasan agar aku terus berotasi dan bertenaga.
Yang menjadi pusat tempat perhatianku bermuara. 

Engkau adalah nama.
Terus terucap di kala aku tengah bersabda.
Terus terlintas di dalam kepala.
Dan ingin selalu kubawa sepanjang masa.
Selama-lamanya.

Kamis, 04 Juni 2015

[puisi] Datangnya Sang Matahari



Dahulu aku merindukan cahaya. Seperti pemimpi yang tersaruk melewati malam. Hangatmu membukakan jalan di dalam kelam. Dan sejak itu, aku selalu ingin mataku terpejam. Karena dalam gelap kehadiranmu menjadi lebih terang.     

Mungkin dalam hening aku bertanya, apa yang kau punya? Kau jauh di sana dan aku mendekam sunyi puluhan ribu kaki jauhnya. Mungkin aku adalah pengkhayal dungu yang mencoba mendekati bintang. Tanpa pernah menyadari bahwa aku tak bisa terbang. 

Masa demi masa berlalu. Dan aku sedikit melupakanmu. Karena seperti musim, hati akan bergulir. Namun tidak dengan rasanya, pun dengan warnanya. Sedikit kukecap, sececap kulihat. Dan kusadari bahwa hati tidak pernah lupa. Hanya dapat membohongi. 

Lalu kau datang. Tanpa pernah kuketahui wujudmu, kau seakan mengerti diriku. Kau berkata bahwa aku mengingatkanmu pada dirimu yang dulu. Sadarkah kau bahwa kita berbeda? Bahwa sejatinya kau hanyalah cahaya dan aku ada orang buta yang hanya dapat memimpikan rasanya melihat warna. 

Namun kau meyakinkanku bahwa kita serupa. Dahulu kau hanya cahaya mungil yang tak berisi. Namun sekarang kau sudah menjelma menjadi matahari. Dan aku semakin takut. Jarakmu terlihat semakin jauh. Walaupun keberadaanmu dapat kusentuh. 

Biarlah kucontoh petuah ikarus. Terbang mendekatimu akan membuatku terbakar. Dan mungkin aku akan siap. Namun tidak sekarang. Dengan keras kutahan diriku dan kucoba untuk bertahan. Karena menikmati cahayamu sekarang sedekat ini terasa cukup. Lebih dari cukup bahkan, dan terasa sangat nyaman. 

Karena itu tetaplah menjadi matahariku. Walaupun kutahu kau mungkin tak dapat terus menjawab panggilanku. Setidaknya aku tahu dimana dirimu. Dan aku pun sadar siapa diriku. Sekarang, aku membenci malam. Karena ketika bulan hadir. Aku akan terus terjaga sampai kau akan datang. Meskipun aku tahu, mungkin kau hanya bersikap sopan. Tapi lagi-lagi aku akan mencoba. Untuk menikmati dirimu dan menekan inginku untuk terbang.