Disclaimer
Untuk 18 atau 21 tahun ke atas. Pastikan anda cukup umur dan mental untuk membaca cerita satu ini.
***
Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku
mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan
mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau.
Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Semua karena istriku. Jeritku dalam
hati. Ia tidak mau melayaniku. Bayi di dalam perutnya dapat terluka, ia
beralasan. Dalam murkaku kutinju wajahnya. Siapa yang perduli dengan bayi itu.
Mereka dapat dibuat kembali dalam kenikmatan. Tapi istri bodohku tidak mau
percaya. Akhirnya kembali kuhias wajahnya dengan kuas bogemku sampai ia
membiru. Bahkan lukisan Picasso pun tak dapat menandingi keindahannya.
Kubanting pintu rumah kami keras-keras
ketika aku keluar. Biar semua tetangga tahu apa yang terjadi. Istriku tidak
becus mengurus rumah tangganya sampai suaminya meninggalkan rumah. Asu! Teriakku kencang-kencang saat ku
beranjak pergi. ASU! Teriakku
berkali-kali sampai tetangga kiri-kananku keluar memenuhi jalan.
Mereka berusaha menanyaiku apa yang
terjadi. Kemungkinan ingin mendapat bahan gosip terbaru saat ibu-ibu berbelanja
sayur di pagi hari atau saat bapak-bapak beronda di malam sepi. Tapi aku terus
beranjak. Ketika mereka mulai berbisik-bisik lagi di belakangku, aku mulai
berteriak sekali lagi,
ASU!
***
Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku
mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan
mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau.
Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Aku berjalan di perempatan dosa. Tempat
para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak ditengahnya menjajakan tubuh
kepada para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak di tengahnya. Aku datang
ke salah satu rumah bordil milik Fajar. Ia berpikir kalau aku adalah kawannya.
Sedangkan aku berpikir kalau ia hanyalah sampah yang kerjaannya hanyalah
menghargai tubuh manusia dalam rupiah yang bisa dibayar. Dasar bajingan.
Namanya Ratih, kata Fajar padaku.
Umurnya lima belas tahun. Ranum, bagaikan buah terlarang yang ada di taman
surgawi. Fajar berkata kalau ia masih perawan. Belum pernah tersentuh lelaki.
Kecuali payudaranya tentu saja. Karena Fajar pasti sudah menjamah bagian itu.
Tapi aku tidak perduli. Perawan atau tidak, selama ia punya lubang di bagian
depannya dan payudara yang menggantung bebas. Aku bersedia. Dan bernafsu dengan
lapang dada.
Fajar memanggil gadis itu ke dalam
kamar. Seorang gadis berkulit putih dan berbibir merah merekah seperti mawar
yang ditanam istriku di depan rumah. Kemaluanku berontak seketika. Fajar,
selaiknya mucikari sejati, tahu apa yang terjadi padaku. ia menyuruh Ratih
membuka dua kancing teratas dari kemeja ketat yang ia pakai. Menunjukkan
belahan kewanitaan yang membuatku makin terangsang.
Dan kurasakan air liurku mulai
menggenang.
Tawar menawar mulai berlangsung. Fajar
menyebut tujuh digit angka. “Sudah lengkap dengan kamarnya, sobat,” obralnya
padaku. Tapi aku tidak membawa uang sedemikian banyak. Kemudian ia berkata
kalau Ratih akan diberikan kepada lelaki lain dan dia akan menawariku lubang
yang berbeda, lebih murah dan lebih longgar tentunya. Tapi aku tidak mau. Aku
ingin merasai Ratih malam ini.
Setelah beberapa saat berlalu,
kesepakatan terjadi dan telah disetujui. Aku menggandeng tangan Ratih.
Menariknya dengan tidak sabar. Keluar dari kamar tempat kami bertransaksi.
Meninggalkan Fajar dan cincin kawinku sebagai alat pembayaran.
***
Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku
mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan
mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau.
Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Kemeja yang dikenakan Ratih kurobek
dengan paksa. Membuat dua gundukan rahasia terbebas dari rahasianya. Seperti
sepasang mata yang tadinya mengintip malu-malu, sekarang tengah melotot tanpa
tanpa tertutup kelopak mata. Kedua hitam ditengahnya melotot ke arahku.
Merayu-rayu tanpa menyimpan malu. Mengais-ngais sampai membuatku meringis.
Ratih terus menunduk. Diam-diam ia
mengangkat tangannya dan menutup apa yang tersaji di hadapanku. Kupegang kedua
lengannya dan kubanting ia ke tempat tidur. Ranjang reyot yang sudah berjuta
kali merasai kulit telanjang para pasangan nista yang menidurinya. Ratih
menjerit pelan, kedua tangannya melepaskan buah dadanya yang berguncang.
Membuat nafsuku ikut menjerit pelan.
Kulepas semua kain dan benda tak berguna
yang menutupi kaki beserta selangkangannya. Ahh, desahku pelan. Sebuah pintu
surga menganga di depanku. Dari tempat seperti itulah aku dilahirkan. Kalau
bisa, aku ingin masuk lagi ke dalamnya. Bersemayam dengan rapi dan menikmati
hidup dalam sepi.
Ratih mengeluarkan campuran antara desah
dan tangis dari mulutnya. Membuat kepalaku terasa terbakar. Kubasahi gelambir
itu dengan kuas lidahku. Menjelajahi liangnya seperti manusia prasejarah yang
baru menemukan gua baru untuk ditinggali. Makin lama suara tangisnya
menghilang. Bibir atasnya semakin mendesah dan bibir bawahnya semakin basah.
Aku bahkan tidak tahu kapan jahitan kain
yang menutupi tubuhku terbuka sudah. Tubuhku bebas menciumi angin, sama seperti
ketika aku terlahir dulu. Polos seperti tubuh Ratih. Yang tengah kunikmati saat
ini.
Kutarik tubuhnya dengan keras sampai ia
terduduk. Menyentak desahan kaget keluar dari mulutnya. Aku berdiri dengan
tegak. Setegak kemaluanku yang tengah berada tepat di kedua matanya. Dapat
kulihat ekspresi yang tak tergambarkan memancar deras di matanya. Seperti mata
ayam mati yang biasa dibeli istriku di pasar. Gelap, namun memberi sejuta iba
di dalam kelamnya.
Hisap!
bisikku
lamat-lamat. Ia mulai menangis dengan semangat. Aku tarik rambutnya dan
kujambak dengan erat. HISAP! Bentakku
amat sangat. Mulutnya malah semakin merapat. Tak kuasa menahan nafsu yang
menyayat. Kutampar pipinya sampai sakit terasa di telapak tanganku dan terus
merambat.
Rasa sakit yang sama juga pasti merambat
di pipi Ratih. Bahkan lebih, jeritan mengiris perasaan mulai terlolong keluar
dari mulutnya. Sayangnya jeritan itu tidaklah berhasil mengiris nafsuku. Yang
ada darahku semakin kencang mengalirkan libido yang bertumpah ruah mengisi
venaku.
Setelah beberapa tamparan dan jeritan
dan air mata. Ratih membuka mulutnya. Menyerah pada keadaan dan takdir yang
membawanya padaku. Aku merasakan hangat saat mulutnya pelan-pelan merasuk.
Menghisap kejantananku di kelembutan wanitanya. Tak sabar, aku menyodok
pinggulku pelan. Membuat Ratih tersedak seketika.
Hangat, tubuhku bergetar pelan dalam
kenikmatan yang tak dapat kugambarkan.
Hangat, keringatku mulai mengucur deras
dalam ritme hisapan yang tak beraturan.
Hangat, pilar duniaku terasa hangat di
dalam permainan yang Ratih tawarkan.
Tapi lama kelamaan, hangat itu berubah
menjadi tak wajar dan mengkhawatirkan. Saat aku melihat ke bawah. Kepala ratih
sudah mundur ke belakang. Kulihat darah mengucur pelan, alih-alih lendir yang
mengandung jutaan bibitku. Pondasi kelelakianku menghilang. Mengendap pelan
diantara gigi-gigi Ratih. Aku bahkan belum sempat menjerit ketika ia
mendorongku jatuh. Badanku terjungkal kebelakang saat ia berlari meninggalkanku
sendiri.
Terdengar suara lantai yang berdebam
pelan. Seketika lalu lenyap, semua kebisingan yang kudengar. Otakku serasa dipijat
oleh tangan lentik Dewi Aphrodite. Kejang penuh kenikmatan melanda tubuhku
dengan kasarnya. Diam-diam aku melihat, semburan lahar putih mulai beterbangan
di atas mataku. Berkas cahaya jingga dari lampu kamar ini berlarian melintasi
membrannya.
Cerah!
ujarku
dalam hati. Hari ini awan terlihat cerah.
***
Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku
mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan
mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau.
Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Fajar dengan bodohnya menyuruhku tenang
sementara ia menyuruh anak buahnya mencari pelacurnya yang kabur. Sementara aku
masih menekan luka di selangkanganku dengan kain putih yang kini berubah
menjadi merah. Ia mulai menanyaiku macam-macam. Sudahkah? tanyanya padaku. Aku menggeleng tak mengerti. Sudahkah kau menjebol liangnya?
Kutonjok pipinya kencang. Ia menjerit
jatuh menghantam tanah. Kejantananku hilang dan ia malah memikirkan keperawanan
pelacurnya. Kutendang perutnya cepat, berulang-ulang. Sebelum para penjaga
rumah bordil yang kelebihan otot mendengar kalau orang yang menjongosi mereka
kupukuli, kutarik kain merah dari selangkanganku. Kuremas pelan dan kusumpalkan
langsung ke mulut fajar. Sementara ia tersedak oleh darahku yang mulai terkuras
dari kain itu. Aku melangkah pergi. Keluar untuk mencari kelelakianku.
***
Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku
mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan
mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau.
Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Sejatinya, tempat ini berbau seperti sampah.
Karena orang-orangnya bertindak seperti sampah dan dianggap seperti sampah.
Maka tidak heran aku harus menutup hidungku rapat-rapat. Agar baunya tidak
mencemari otakku saat menyusuri deretan lorongnya.
Aku berjalan tanpa tahu tujuan. Beberapa
wanita berusaha menarik tangan yang tengah menutupi selangkangan berdarahku.
Dengan kasar kutepis tangan mereka, sampai-sampai kami berdua menjerit kecil.
Ia menjerit karena kaget dan aku menjerit karena lukaku yang kaget sehingga ia
berdenyut sakit.
Kutengok ke bawah, darah masih mengucur
dengan tenangnya. Otakku terasa lumpuh perlahan. Mungkin saja dia sudah
kekurangan oksigen. Saat tatapanku masih mengarah ke bawah, aku melihat jejak
darah melintas di jalan depanku. Tertutup genangan air dan muntahan berwarna
kuning dan putih. Aku mengikutinya tergesa-gesa. Seorang lelaki gemuk telanjang
tergeletak menghalangi jalan. Ia mencengkeram ujung celanaku saat aku lewat. Tolong, bisiknya pelan. Nafsuku mati rasa.
Kutendang kakiku kearah mukanya. Meninggalkan
lesakan dalam di antara kedua matanya. Ia menjerit terpendam. Saat aku kembali
beranjak ia berteriak lantang-lantang, penismu
sudah hilang. Jangan kau cari, ia tak sudi menempel di tubuh lelaki jalang.
Tanpa kupedulikan, aku terus mengikuti
jejak darah yang kulihat. Lama-lama semakin mengecil. Lalu menghilang di depan
sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Tubuhku semakin lemas. Kesadaranku berusaha
melepaskan diri sedari tadi. Namun aku harus terus melangkah. Tonggak kebanggaanku
harus tak boleh hilang begitu saja.
Kutelusuri gedung itu, sepertinya
bangunan ini akan dihancurkan. Gelap dan kelam menyapa diriku. Membuat tubuhku
hilang dalam malam. Telingaku menjadi awas. Kudengar suara-suara rintihan yang
membuat kudukku berdiri pelan. Tiba-tiba saja aku melihat sosok wanita duduk di
tangga beton yang rusak. Saat aku mendekat, ia berdiri dengan cepat. aku tidak
dapat melihat dengan jelas mukanya. Tapi melihat bentuk payudaranya. Aku tahu
itu Ratih. Pelacur yang menggigit putus penisku.
Kembalikan,
ujarku
parau. Kembalikan!
Aku maju selangkah, ia mundur dua
langkah. Tubuhku semakin lemas. Dengan ratapan yang entah datang darimana, aku
mencoba untuk membujuknya.
Tolong,
kembalikan. Tanganku
terjulur padanya. Tolong.
Akhirnya ia mendekat. Cahaya bulan mulai
menampari wajahnya. Membuatku dapat melihat dengan jelas. Serpihan darah kering
terjiplak keras di sekitar dagunya. Ia membuka mulutnya, dapat kulihat sebatang
daging berwarna cokelat terkulai lemas di atas lidahnya. Dengan tidak
santainya, isi perutku berlari keluar menuju mulutku. Beterbangan menodai
lantai kelabu.
Tolong,
ujarku
pelan sesaat kemudian. Kembalikan.
Ia mulai berbicara, namun aku tidak
dapat mendengar jelas ucapannya. Setelah beberapa kali ia berkata, akhirnya
dapat kudengar jelas apa yang ia ucapkan.
Tolong,
racaunya.
Kembalikan.
Aku mengangkat satu alisku. Tidak mengerti
apa yang ia bicarakan. Apa?
Kembalikan.
Ia
mendekat. Menjulurkan tangannya padaku. Seperti pengemis di tengah perempatan. Akhir
ia menjelaskan pertanyaaannya padaku. Meminta sesuatu yang tak dapat kuberikan
padanya.
Kembalikan,
kembalikan dulu harga diriku.
Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa.
Saat tubuhku tak kuasa lagi menahan kesadaran. Ia menutup mulutnya rapat. Hal terakhir
yang kulihat adalah tenggorokkannya yang menelan penisku sebelum akhirnya aku
terjatuh.
Masuk ke dalam kegelapan dan tidur. Mungkin
untuk selamanya.