Kamis, 31 Juli 2014

[Cerpen] Scortum et Mentula Meam



Disclaimer
 Untuk 18 atau 21 tahun ke atas. Pastikan anda cukup umur dan mental untuk membaca cerita satu ini.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Semua karena istriku. Jeritku dalam hati. Ia tidak mau melayaniku. Bayi di dalam perutnya dapat terluka, ia beralasan. Dalam murkaku kutinju wajahnya. Siapa yang perduli dengan bayi itu. Mereka dapat dibuat kembali dalam kenikmatan. Tapi istri bodohku tidak mau percaya. Akhirnya kembali kuhias wajahnya dengan kuas bogemku sampai ia membiru. Bahkan lukisan Picasso pun tak dapat menandingi keindahannya.
Kubanting pintu rumah kami keras-keras ketika aku keluar. Biar semua tetangga tahu apa yang terjadi. Istriku tidak becus mengurus rumah tangganya sampai suaminya meninggalkan rumah. Asu! Teriakku kencang-kencang saat ku beranjak pergi. ASU! Teriakku berkali-kali sampai tetangga kiri-kananku keluar memenuhi jalan.
Mereka berusaha menanyaiku apa yang terjadi. Kemungkinan ingin mendapat bahan gosip terbaru saat ibu-ibu berbelanja sayur di pagi hari atau saat bapak-bapak beronda di malam sepi. Tapi aku terus beranjak. Ketika mereka mulai berbisik-bisik lagi di belakangku, aku mulai berteriak sekali lagi,
ASU!

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Aku berjalan di perempatan dosa. Tempat para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak ditengahnya menjajakan tubuh kepada para wanita, lelaki, dan mereka yang terjebak di tengahnya. Aku datang ke salah satu rumah bordil milik Fajar. Ia berpikir kalau aku adalah kawannya. Sedangkan aku berpikir kalau ia hanyalah sampah yang kerjaannya hanyalah menghargai tubuh manusia dalam rupiah yang bisa dibayar. Dasar bajingan.
Namanya Ratih, kata Fajar padaku. Umurnya lima belas tahun. Ranum, bagaikan buah terlarang yang ada di taman surgawi. Fajar berkata kalau ia masih perawan. Belum pernah tersentuh lelaki. Kecuali payudaranya tentu saja. Karena Fajar pasti sudah menjamah bagian itu. Tapi aku tidak perduli. Perawan atau tidak, selama ia punya lubang di bagian depannya dan payudara yang menggantung bebas. Aku bersedia. Dan bernafsu dengan lapang dada.
Fajar memanggil gadis itu ke dalam kamar. Seorang gadis berkulit putih dan berbibir merah merekah seperti mawar yang ditanam istriku di depan rumah. Kemaluanku berontak seketika. Fajar, selaiknya mucikari sejati, tahu apa yang terjadi padaku. ia menyuruh Ratih membuka dua kancing teratas dari kemeja ketat yang ia pakai. Menunjukkan belahan kewanitaan yang membuatku makin terangsang.
Dan kurasakan air liurku mulai menggenang.
Tawar menawar mulai berlangsung. Fajar menyebut tujuh digit angka. “Sudah lengkap dengan kamarnya, sobat,” obralnya padaku. Tapi aku tidak membawa uang sedemikian banyak. Kemudian ia berkata kalau Ratih akan diberikan kepada lelaki lain dan dia akan menawariku lubang yang berbeda, lebih murah dan lebih longgar tentunya. Tapi aku tidak mau. Aku ingin merasai Ratih malam ini.
Setelah beberapa saat berlalu, kesepakatan terjadi dan telah disetujui. Aku menggandeng tangan Ratih. Menariknya dengan tidak sabar. Keluar dari kamar tempat kami bertransaksi. Meninggalkan Fajar dan cincin kawinku sebagai alat pembayaran.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Kemeja yang dikenakan Ratih kurobek dengan paksa. Membuat dua gundukan rahasia terbebas dari rahasianya. Seperti sepasang mata yang tadinya mengintip malu-malu, sekarang tengah melotot tanpa tanpa tertutup kelopak mata. Kedua hitam ditengahnya melotot ke arahku. Merayu-rayu tanpa menyimpan malu. Mengais-ngais sampai membuatku meringis.
Ratih terus menunduk. Diam-diam ia mengangkat tangannya dan menutup apa yang tersaji di hadapanku. Kupegang kedua lengannya dan kubanting ia ke tempat tidur. Ranjang reyot yang sudah berjuta kali merasai kulit telanjang para pasangan nista yang menidurinya. Ratih menjerit pelan, kedua tangannya melepaskan buah dadanya yang berguncang. Membuat nafsuku ikut menjerit pelan.
Kulepas semua kain dan benda tak berguna yang menutupi kaki beserta selangkangannya. Ahh, desahku pelan. Sebuah pintu surga menganga di depanku. Dari tempat seperti itulah aku dilahirkan. Kalau bisa, aku ingin masuk lagi ke dalamnya. Bersemayam dengan rapi dan menikmati hidup dalam sepi.
Ratih mengeluarkan campuran antara desah dan tangis dari mulutnya. Membuat kepalaku terasa terbakar. Kubasahi gelambir itu dengan kuas lidahku. Menjelajahi liangnya seperti manusia prasejarah yang baru menemukan gua baru untuk ditinggali. Makin lama suara tangisnya menghilang. Bibir atasnya semakin mendesah dan bibir bawahnya semakin basah.
Aku bahkan tidak tahu kapan jahitan kain yang menutupi tubuhku terbuka sudah. Tubuhku bebas menciumi angin, sama seperti ketika aku terlahir dulu. Polos seperti tubuh Ratih. Yang tengah kunikmati saat ini.
Kutarik tubuhnya dengan keras sampai ia terduduk. Menyentak desahan kaget keluar dari mulutnya. Aku berdiri dengan tegak. Setegak kemaluanku yang tengah berada tepat di kedua matanya. Dapat kulihat ekspresi yang tak tergambarkan memancar deras di matanya. Seperti mata ayam mati yang biasa dibeli istriku di pasar. Gelap, namun memberi sejuta iba di dalam kelamnya.
Hisap! bisikku lamat-lamat. Ia mulai menangis dengan semangat. Aku tarik rambutnya dan kujambak dengan erat. HISAP! Bentakku amat sangat. Mulutnya malah semakin merapat. Tak kuasa menahan nafsu yang menyayat. Kutampar pipinya sampai sakit terasa di telapak tanganku dan terus merambat.
Rasa sakit yang sama juga pasti merambat di pipi Ratih. Bahkan lebih, jeritan mengiris perasaan mulai terlolong keluar dari mulutnya. Sayangnya jeritan itu tidaklah berhasil mengiris nafsuku. Yang ada darahku semakin kencang mengalirkan libido yang bertumpah ruah mengisi venaku.
Setelah beberapa tamparan dan jeritan dan air mata. Ratih membuka mulutnya. Menyerah pada keadaan dan takdir yang membawanya padaku. Aku merasakan hangat saat mulutnya pelan-pelan merasuk. Menghisap kejantananku di kelembutan wanitanya. Tak sabar, aku menyodok pinggulku pelan. Membuat Ratih tersedak seketika.
Hangat, tubuhku bergetar pelan dalam kenikmatan yang tak dapat kugambarkan.
Hangat, keringatku mulai mengucur deras dalam ritme hisapan yang tak beraturan.
Hangat, pilar duniaku terasa hangat di dalam permainan yang Ratih tawarkan.
Tapi lama kelamaan, hangat itu berubah menjadi tak wajar dan mengkhawatirkan. Saat aku melihat ke bawah. Kepala ratih sudah mundur ke belakang. Kulihat darah mengucur pelan, alih-alih lendir yang mengandung jutaan bibitku. Pondasi kelelakianku menghilang. Mengendap pelan diantara gigi-gigi Ratih. Aku bahkan belum sempat menjerit ketika ia mendorongku jatuh. Badanku terjungkal kebelakang saat ia berlari meninggalkanku sendiri.
Terdengar suara lantai yang berdebam pelan. Seketika lalu lenyap, semua kebisingan yang kudengar. Otakku serasa dipijat oleh tangan lentik Dewi Aphrodite. Kejang penuh kenikmatan melanda tubuhku dengan kasarnya. Diam-diam aku melihat, semburan lahar putih mulai beterbangan di atas mataku. Berkas cahaya jingga dari lampu kamar ini berlarian melintasi membrannya.
Cerah! ujarku dalam hati. Hari ini awan terlihat cerah.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Fajar dengan bodohnya menyuruhku tenang sementara ia menyuruh anak buahnya mencari pelacurnya yang kabur. Sementara aku masih menekan luka di selangkanganku dengan kain putih yang kini berubah menjadi merah. Ia mulai menanyaiku macam-macam. Sudahkah? tanyanya padaku. Aku menggeleng tak mengerti. Sudahkah kau menjebol liangnya?
Kutonjok pipinya kencang. Ia menjerit jatuh menghantam tanah. Kejantananku hilang dan ia malah memikirkan keperawanan pelacurnya. Kutendang perutnya cepat, berulang-ulang. Sebelum para penjaga rumah bordil yang kelebihan otot mendengar kalau orang yang menjongosi mereka kupukuli, kutarik kain merah dari selangkanganku. Kuremas pelan dan kusumpalkan langsung ke mulut fajar. Sementara ia tersedak oleh darahku yang mulai terkuras dari kain itu. Aku melangkah pergi. Keluar untuk mencari kelelakianku.

***

Pelacur itu menggigit putus penisku. Aku mencarinya diantara gang-gang kelabu. Tempat para wanita lain ikut-ikutan mengobral malu. Menjaring setiap lelaki berhidung belang dan bermoral bau. Mendesahkan lendir dalam nikmat dosa yang membuat candu.
Sejatinya, tempat ini berbau seperti sampah. Karena orang-orangnya bertindak seperti sampah dan dianggap seperti sampah. Maka tidak heran aku harus menutup hidungku rapat-rapat. Agar baunya tidak mencemari otakku saat menyusuri deretan lorongnya.
Aku berjalan tanpa tahu tujuan. Beberapa wanita berusaha menarik tangan yang tengah menutupi selangkangan berdarahku. Dengan kasar kutepis tangan mereka, sampai-sampai kami berdua menjerit kecil. Ia menjerit karena kaget dan aku menjerit karena lukaku yang kaget sehingga ia berdenyut sakit.
Kutengok ke bawah, darah masih mengucur dengan tenangnya. Otakku terasa lumpuh perlahan. Mungkin saja dia sudah kekurangan oksigen. Saat tatapanku masih mengarah ke bawah, aku melihat jejak darah melintas di jalan depanku. Tertutup genangan air dan muntahan berwarna kuning dan putih. Aku mengikutinya tergesa-gesa. Seorang lelaki gemuk telanjang tergeletak menghalangi jalan. Ia mencengkeram ujung celanaku saat aku lewat. Tolong, bisiknya pelan. Nafsuku mati rasa.
Kutendang kakiku kearah mukanya. Meninggalkan lesakan dalam di antara kedua matanya. Ia menjerit terpendam. Saat aku kembali beranjak ia berteriak lantang-lantang, penismu sudah hilang. Jangan kau cari, ia tak sudi menempel di tubuh lelaki jalang.
Tanpa kupedulikan, aku terus mengikuti jejak darah yang kulihat. Lama-lama semakin mengecil. Lalu menghilang di depan sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Tubuhku semakin lemas. Kesadaranku berusaha melepaskan diri sedari tadi. Namun aku harus terus melangkah. Tonggak kebanggaanku harus tak boleh hilang begitu saja.
Kutelusuri gedung itu, sepertinya bangunan ini akan dihancurkan. Gelap dan kelam menyapa diriku. Membuat tubuhku hilang dalam malam. Telingaku menjadi awas. Kudengar suara-suara rintihan yang membuat kudukku berdiri pelan. Tiba-tiba saja aku melihat sosok wanita duduk di tangga beton yang rusak. Saat aku mendekat, ia berdiri dengan cepat. aku tidak dapat melihat dengan jelas mukanya. Tapi melihat bentuk payudaranya. Aku tahu itu Ratih. Pelacur yang menggigit putus penisku.
Kembalikan, ujarku parau. Kembalikan!
Aku maju selangkah, ia mundur dua langkah. Tubuhku semakin lemas. Dengan ratapan yang entah datang darimana, aku mencoba untuk membujuknya.
Tolong, kembalikan. Tanganku terjulur padanya. Tolong.
Akhirnya ia mendekat. Cahaya bulan mulai menampari wajahnya. Membuatku dapat melihat dengan jelas. Serpihan darah kering terjiplak keras di sekitar dagunya. Ia membuka mulutnya, dapat kulihat sebatang daging berwarna cokelat terkulai lemas di atas lidahnya. Dengan tidak santainya, isi perutku berlari keluar menuju mulutku. Beterbangan menodai lantai kelabu.
Tolong, ujarku pelan sesaat kemudian. Kembalikan.
Ia mulai berbicara, namun aku tidak dapat mendengar jelas ucapannya. Setelah beberapa kali ia berkata, akhirnya dapat kudengar jelas apa yang ia ucapkan.
Tolong, racaunya. Kembalikan.
Aku mengangkat satu alisku. Tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apa?
Kembalikan. Ia mendekat. Menjulurkan tangannya padaku. Seperti pengemis di tengah perempatan. Akhir ia menjelaskan pertanyaaannya padaku. Meminta sesuatu yang tak dapat kuberikan padanya.
Kembalikan, kembalikan dulu harga diriku.
Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Saat tubuhku tak kuasa lagi menahan kesadaran. Ia menutup mulutnya rapat. Hal terakhir yang kulihat adalah tenggorokkannya yang menelan penisku sebelum akhirnya aku terjatuh.
Masuk ke dalam kegelapan dan tidur. Mungkin untuk selamanya.