Sabtu, 10 September 2011

Tanah Tabu (Review Novel)

Tanah Tabu





































  • Penulis : Anindita S.Thayf
  • Ukuran : 11 x 18 cm
  • Tebal : 240 halaman
  • Terbit : Mei 2009
  • ISBN : 978-979-22-4567-7
  • No Produk : 40101090010

    “Manusia tetaplah manusia, bukan malaikat, yang akan selalu berbuat salah dan tidak suci dari dosa. Karena itu jangan pernah pernah meragukan ceritaku ini, kecuali kau akan kecewa jika suatu saat nanti musibah yang sama ternyata menimpa dirimu.” (Hal. 153)
    Jika khaled Hosseini membahas tentang problematika hidup wanita yang di bumbui latar belakang afganistan dan segala intriknya dalam A Thousand Splendid Suns. Maka novel Tanah Tabu ini mengangkat tema yang serupa dengan setting yang berbeda, kehidupan wanita di daerah timur Indonesia.
    Jika ditelusuri lebih dalam, sudah terlampau banyak penulis yang mengangkat tema tentang kehidupan wanita. Dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Sehingga menyebabkan penulis harus pintar dalam meramu ide yang ada, supaya cerita yang ada akan menjadi fresh ketika dibaca. Dan novel ini cukup berhasil memberi angin segar dengan tema yang sudah umum digunakan.
    Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang kehidupan Mabel, seorang wanita dari suku Dani yang berpikiran maju dan modern di tanah yang terkesan primitif itu. Namun yang menarik di sini adalah, cerita ini disampaikan melalui 3 sudut pandang tokoh yang berbeda. Leksi, cucu dari Mabel. Pum, Anjing dan sahabat terbaik Mabel serta Kwee. Anjing muda yang tumbuh besar bersama Leksi. Pemilihan ketiga tokoh ini dirasa tepat. Karena beratnya kehidupan para wanita ini diceritakan dengan sangat polos dan lugu. Ketiganya pun mewakili 3 generasi keluarga Mabel. Pum untuk generasi Mabel, Kwee untuk generasi Mace, menantu dari Mabel serta Leksi untuk generasinya sendiri.
    Tokoh Yosi dan Mama Helda pun turut menyemarakkan kisah para wanita di Papua ini. memang jika dilihat-lihat. Satu-satunya tokoh dominan yang berjenis kelamin lelaki hanya Pum di sini. seakan-akan mengejek bahwa seekor anjing jantan jauh lebih baik dan setia dibandingkan para pria. Keperawanan dan keasrian alam papua pun tersaji dengan indah di sini. Menjadikan satu lagi nilai tambah novel ini dibanding novel dengan tema serupa.
    Konflik para wanita ini bukan hanya berkutat pada aturan adat dan stigma yang seakan memasung hidup dan kebebasan mereka. Namun gempuran dari perusahaan-perusahaan yang ingin mengeruk tanah mereka, juga janji-janji manis dari para pemimpin dan gempuran globalisasi. Disampaikan dengan apik di sini.
    Namun novel ini tidak terlepas dari kekurangan. Antara lain minimnya deskripsi fisik dari tokoh-tokoh yang ada di novel membuat pembaca sedikit kesulitan untuk menvisualisasikan muka dan wajah para karakter yang ada. Selain itu juga ada beberapa plothole yang patut dipertanyakan. Seperti umur Pum yang terlalu panjang untuk masa hidup seekor anjing dan umur Mabel ketika ia menikah untuk pertama kali tidak sinkron dengan cerita yang ada. Namun plothole ini tidak terlalu mengganggu jalan cerita yang ada.
    Akhir kata, novel ini membawa sesuatu yang baru dalam jajaran novel yang bertema sama. Jika anda ingin membaca cerita tentang wanita yang tidaklah seindah dan membuai laiknya metropop dan chicklit. Novel ini patut di jadikan koleksi.
    “Kalau kau memang seorang perempuan yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusia seperti dirinya.” (hal. 66)