Selasa, 26 Mei 2015

[Cerpen] Dilatasi Masa

















Lelaki – Sekarang
Tahukah kalian apa kebohongan terbesar yang dihasilkan masyarakat? Sebuah harapan.
Manusia adalah makhluk yang lemah. Dalam keterbatasannya mereka membohongi diri sendiri dengan sebuah pikiran bahwa kelemahan mereka akan tertutupi pada akhirnya. Pikiran tadi bernama harapan. Dan secara pribadi aku mulai menghentikan pikiran-pikiran seperti itu. Harapan hanyalah sebuah angan-angan busuk yang tidak dapat membuatmu bergerak kemana-kemana.
Tetapi malam ini, aku mulai berharap. Setelah bertahun-tahun lamanya tidak kulakukan.
Aku mengecek waktu di HPku. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Entah berapa batang rokok yang kuhabiskan. Mulutku terasa asam sekarang. Di luar mobilku mulai terdengar nyanyian jangkrik dan serangga malam. Sementara mereka berusaha mencari pasangan untuk berhubungan badan. Aku semakin merapatkan jaketku demi mengusir udara dingin nan kelam.
Sialan.
HPku bergetar lagi. Dan lagi-lagi aku mendiamkannya. Panggilan itu datang dari kesialan lain dalam hidupku. Seorang wanita sudah berusaha memberikan sinyal padaku agar aku melamarnya. Aku berpura-pura membutakan mata hatiku. Dan ia berpura-pura bahwa aku sedemikian tidak sensitifnya sampai ia harus melacurkan sinyal ke arahku. Berdua, kami memainkan drama pura-pura yang entah akan berakhir kemana.
Kuambil batang terakhir dalam bungkus rokokku. Dan sekarang aku menyadari sudah berapa batang yang berhasil kuhisap. Aku membuka pintu mobil dan menghirup udara malam. Dan lagi-lagi kembali berharap kalau ia akan datang.

***

Wanita – Dulu
Pagi itu adalah pagi yang paling terindah dalam hidupku. Bagaimana tidak, hari itu aku mulai mengerti apa yang orang-orang bilang dengan cinta pada pandangan pertama.
Ia menunduk malu-malu. Dapat kurasakan kegugupannya tertular sempurna padaku. Ia memperkenalkan namanya. Dapat kudengar suaranya yang serak seakan menggerus perasaan aneh di dalam perutku. Aneh, aku seharusnya berusaha untuk menghalau perasaan-perasaan seperti ini dan memfokuskan perhatianku pada ujian kelulusan semester depan. Tapi pada saat pikiran baik seperti itu melintas di otakku. Pandangan lelaki itu menatap tepat ke arahku.
Aku terpana dan terpanah sempurna olehnya.
Tidak seperti cerita di film atau cerita romansa remaja. Wali kelasku tidak mendudukkannya di sebelahku, belakangku, ataupun bangku di depanku. Yang ada ia menaruhnya jauh di belakang kelas. Aku meliriknya sekilas saat ia melangkah melewati bangkuku. Dan merutuki nasib yang berjalan tak seindah dalam dongeng.
Akhirnya, sisa senin itu berjalan seperti biasa. Aku bahkan tak sempat lagi mengobrol dengannya. Di akhir hari itu, saat aku menulis cerita tentang waktu yang berlalu di dalam diary bersampul biru. Aku memutuskan untuk tidak memasukkan kalimat “pagi yang paling terindah”. Sambil berharap-harap kalau pagi yang paling terindah akan dapat sesegera mungkin kutulis di dalamnya.

***

Lelaki – Dahulu
Ia menatapku lekat-lekat. Bola mata jernihnya samar-samar terlihat di antara kepulan asap rokok yang menguar pekat. Aku menanyakannya sekali lagi. Sedikit retorik memang. Namun entah mengapa aku merasa perlu mendengar permintaannya untuk kali kedua. Setelah ia mengucapkannya kembali. Aku mengulurkan rokok yang kupegang ke arahnya.
Tanpa sungkan ataupun segan. Ia menghisap rokok dan mengepulkan asapnya tepat ke arahku. Kami berdua tersenyum bersama. Lengkungan itu pun terbuka dan kami mulai berbagi tawa. Aku sendiri tak tahu apa yang kami tertawakan. Akhirnya aku membiarkannya menghabiskan rokok itu sementara aku menghabiskan waktuku untuk memandangi lehernya.
Dan kami bercerita. Wanita yang kukira polos seputih kertas ternyata menyimpan sejuta warna. Aku diam, menikmati kisah yang ia bawa. Dengan durasi setengah batang rokok, aku merasa sudah mengenalnya. Tak bisa kubayangkan apa yang terjadi jika penukaran kata diantara kami berdua berlangsung selama satu bungkus rokok.
Teman sekelas kami datang ke teras belakang rumahnya dan memanggil kami berdua. Meneruskan belajar kelompok kami yang akan menghadapi ujian beberapa bulan lagi. Ia tersenyum dan menyentuhkan jarinya di pergelangan tanganku sebelum beranjak pergi. Dari kejadian singkat ini aku sudah mahfum kalau ia memang istimewa. Jika semua rokok di dunia sudah habis dan aku mempunyai batang terakhirnya. Maka rokok itu akan kuberikan padanya. Agar ia dapat menikmati kenikmatan dunia terakhir yang tersisa.

***

Wanita – Sekarang
Rasanya aneh, biasanya setelah aku berbicara dengan suamiku. Rasa rindu akan berdesir kencang seperti ombak yang berdebur di dalam nadi. Namun kali itu rasanya hampa. Aku masih sempat mengatakan aku mencintainya, tepat setelah ia berkata ia mencintaiku. Dahulu waktu kami baru menikah. Perkataan itu mempunyai arti yang sangat dalam sampai tak dapat kudefinisikan. Sekarang perkataan itu telah berubah menjadi rutinitas semata.
Supir taksi yang membawaku tampak melirik dari kaca depan. Atau mungkin ia sedang melihat kaca spion? Aku berusaha tidak memikirkan itu. Alih-alih, aku menatap jalanan malam yang lengang. Kota ini sudah berubah. Di sana-sini terlihat pembangunan. Namun entah mengapa aku merasa lega. Kungkungan beton di tempat ini membuat jiwaku terasa lepas. Entah mengapa.
Lampu merah sekali lagi. Beberapa tukang becak tampak tertidur di dalam becak yang mereka parkirkan di pinggir jalan. Dahulu sekali aku sering menaiki becak dengan lelaki yang sangat kukenal. Waktu itu bahagia sangat kurasakan. Sampai-sampai masa depan terasa tidak menakutkan dan masa lalu tidak penting untuk dipertanggungjawabkan.
Aku membuka kaca taksi. Mencoba menyesap aroma kehidupan malam. Ada aroma dan warna tertangkap dan sulit untuk kulepas. Aku menepuk bahu supir taksi dan menyuruhnya untuk menunggu sejenak. Aku membuka pintu dan berjalan ke arah aroma dan rasa itu lahir. Sekembalinya aku dari luar, aku turut membawa seikat mawar merah untuk menemani kembali perjalananku.

***

Lelaki – Sekarang
Dengan nanar aku melihat asap terakhir yang mewarnai langit malam dengan sejumput putih. Kuarannya menghilang disaput dinginnya malam. Kusandarkan tubuhku di samping mobil. Sambil merapatkan jaketku untuk menghalau pelukan malam.
Satu setengah jam lagi hari akan berganti. Aku mulai bertanya-tanya apakah wanita itu lupa? Atau mungkin aku saja yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa hidup terus berjalan dan kenangan akan memudar? HPku berdering lagi. Menyentakku dari sejuta pikiran. Bertahun-tahun lalu di tempat ini kejadian yang tak mungkin kulupakan terjadi. Nurani sialku pun iba terhadap wanita yang menelponku sedari tadi. Kehadirannya ternyata tak mampu menggantikan kenangan yang semakin usang.
Suara jangkrik lagi. Dan lagi-lagi suaranya membuatku kesal. Tapi ada suara lain yang membuatku awas. Suara mobil yang berhenti tepat di ujung jalan. Dari dalamnya sesosok wanita keluar. Jantungku menggedor dadaku tanpa sebab. Aku menarik napas. Mencoba mengendalikan emosiku yang mendadak liar tak terkendali.
Semakin dekat, rambut panjangnya dulu berubah. Semakin dekat, matanya yang jernih menatapku tanpa mengganti arah. Semakin dekat, tangannya terangkat membawa sebuket mawar merah. Dan ketika ia sudah berada di depanku. Wajahnya menunjukkan ekspresi marah yang membuatku jengah.
Dan aku terdiam. Mendengar lagi nyanyian penuh nafsu dari jangkrik malam.

***

Wanita – Dulu
Ciumannya terasa hangat. Seperti bergelung di dalam selimut saat hari hujan. Saat bibir kami menjauh, tawa canggung mengalir deras dari dalamnya. Aku menatap matanya lekat saat ia membawa tangannya menelusuri pipiku. Dan kemudian, bibir kami menyatu lagi.
Kejadian ini berlangsung setelah tiga minggu kami resmi berpacaran. Kami berdua berjalan menyusuri kota menaiki becak. Lalu berhenti di sebuah taman kecil yang mempunyai pohon beringin raksasa. Entah siapa yang memulai. Sepertinya tangan alam semesta memainkan tali boneka kami berdua dengan lincahnya. Kami berciuman lagi dan lagi sampai mulutku terasa kering.
Kemudian ia mengeluarkan rokoknya. Di sela-sela asap putih, kami berbagi bayangan tentang masa depan. Ia akan kembali ke kota asalnya. Dan aku akan tetap berada di sini. Dengan naifnya akan menunggu ia kembali. Atau mungkin dengan keras kepalanya akan mengejarnya sampai nanti.
Ia memegang kepalaku dengan lembut sambil menenangkanku. Ia berkata untuk tidak menakuti masa depan. Hanya di depanku saja ia dapat berubah menjadi semanis ini. sementara di depan yang lain ia selalu saja diam dan sentimental. Dan untuk itu aku bahagia. Karenanya ia tak perlu memakai topeng saat bersama denganku.
Ketika hari sudah malam. Kami berciuman sekali lagi dan dia akan mengantarku sampai rumah. Sementara aku menatap punggungnya yang menjauh dari kamarku. Aku akan memegang bibirku dan kembali mengingat kehangatan itu.

***

Lelaki – Dahulu
Lelaki bodoh adalah lelaki yang membuat wanita mengeluarkan air matanya. Ayahku sering berkata demikian. Dulu aku berpikir kalau kata-kata itu adalah taktiknya agak aku tak menjahili adik perempuanku. Namun sekarang aku baru mengerti artinya. Ketika wanita yang kucintai menangis sedari tadi. Dan bodohnya lagi aku tak dapat mendekapnya.
Ia mengurung dirinya di dalam kamar mandi. Tersedu-sedu sampai dapat kurasakan getarannya dari balik pintu. Harusnya hari ini menjadi hari bahagia kami. Hari terakhir ujian dan kami lepas dari segala kungkungan akademi. Namun yang ada, sisa hari ini kami habiskan dalam kesedihan.
Aku meminta maaf padanya. Ulang dan berulang kali. Namun perkataan itu ia jawab dengan tangisan. Aneh sekali rasanya. Tadi pagi kulalui dengan gelisah karena ujian yang akan kami lalui. Lalu siangnya kami habiskan dalam kelegaan. Sorenya kami tersapu badai kebahagiaan setelah sebuah ketelanjangan yang kami rayakan. Dan malamnya kami habiskan dengan kesedihan yang terasa membodohkan.
Akhirnya saat aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku pun ikut duduk menyandarkan tubuhku di pintu. Karena aku tahu ia melakukan hal yang sama di balik pintu yang lain. Dan saat tangis wanita yang kucintai tak kunjung berhenti. Aku pun ikut menjatuhkan air mata dan menangis.
Setelah tadi menyatukan diri dalam cairan. Kini kami kembali bersatu mengeluarkan cairan.

***

Wanita – Sekarang
Barulah aku menyadari kehebatan dari sang waktu. Wajahnya yang dulu muda sekarang tampak dewasa dan berwibawa. Aku mengucapkan halo sambil menyapa dirinya. Ia membalasku dengan suara serak tak bahkan tak dapat digerus waktu. Aku ingin sekali berbagi cerita. Tapi sayangnya aku tahu bahwa waktu tidak akan pernah menunggu. Ia mengambil kotak dari dalam mobilnya. Setelah itu kami berjalan menembus malam berdua.
Taman ini tampak berubah. Rumputnya menjadi tak terawat. Pohon beringin raksasa itu seperti mengerdil dan tak nampak. Karena dahulu dari jarak sejauh ini aku sudah dapat melihat puncak daunnya. Namun sekarang hanya kegelapan malam saja yang berhasil kulihat.
Ujung jarinya tampak mengenai sedikit jariku saat kami berjalan beriringan. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Karena ia langsung sigap berjalan di depanku dan menyingkapkan rumput tinggi yang menghalangi jalan kami. Aneh, tujuh belas tahun berlalu dan ini adalah pertemuan pertama kami. Ingin sekali aku menghambur ke pelukannya dan bercerita tentang masa yang berjalan tanpa terasa. Tapi kami diam. Tidak tahu harus berkata apa.
Pikiranku terpotong seketika ketika mataku mulai menangkap keganjilan yang tampak tak nyata. Pohon yang dulu berdiri kokoh itu telah hilang. Sisa batangnya telah berubah menjadi tunggul kayu yang menghitam. Entah mengapa lututku terasa lemas dan aku duduk terjatuh menghantam bumi. Di tengah senggukanku yang datang dengan konyolnya. Dapat kurasakan rengkuhan tangan kokohnya memeluk tubuhku dengan hangat.

***

Lelaki – Dulu
Dapatkah kau disebut sebagai pembunuh ketika kau menghabisi nyawa seseorang yang bahkan belum sempat mengecap napas dunia?
Jantungku memukul-mukul dadaku dengan keras sedari tadi. Seakan memberi isyarat padaku untuk kabur dari tempat terkutuk ini. Tapi tangisan wanita di sampingku membuat kakiku bertahan. Diam-diam aku berpikir apakah rasa bersalah ini dapat tercuci habis dari hidupku setelah semua ini usai?
Namanya dipanggil masuk. Dan aku dilarang untuk ikut. Saat-saat itu adalah saat paling terkelam dalam hidupku. Aku tersungkur menghujam lembah. Di tengah keramaian tempat ini, aku merasa kesepian. Detik demi detik berlalu dan setiap hitungannya membuatku semakin pilu.
Dalam papahan wanita lain ia keluar. Mukanya menyiratkan kesedihan dan kemarahan tak terpancarkan. Aku ingin menangis, tapi tersadar bahwa aku harus berusaha tegar demi wanitaku yang satu ini. Setelah wanita lain tadi melepaskan papahannya. Aku menangkap tubuhnya yang terhuyung dan memeluknya erat.
Dalam kehangatan pelukannya, kami berdua sadar bahwa kami telah menjadi pembunuh.

***

Wanita – Dulu
Tangannya terayun keras menghantam bumi. Mencoba membuat sebuah lubang di atasnya. Sementara aku duduk di salah satu akar pohon beringin yang menonjol tanpa malu. Sambil menggenggam plastik hitam yang sekarang mengeluarkan bau amis masuk ke hidungku.
Ketika ia merasa dalamnya cukup. Ia mengulurkan tangannya yang penuh keringat bercampur tanah ke arahku. Aku menyambutnya dengan tergugu. Air mataku kembali menggumpal saat plastik itu kami tanam. Tanpa ada doa ataupun upacara yang layak. Anak kami dan aib yang menyertainya telah hilang dengan rapat.
Perasaanku kian mendingin. Air mataku sudah habis terkuras, begitu pun energiku. Setelah ia kembali menutup lubang tadi. Ia memelukku kembali dan mulai menangis. Menangis tersedu sambil mengeluarkan ratapan pilu. Aku semakin mengencangkan pelukanku padanya. Tahu bahwa ia sendiri belum sempat mengucapkan rasa berkabung dan bersalahnya karena terlalu sibuk untuk tetap tegar demiku.
Kami terus berpelukan. Tanpa menyadari bahwa itu adalah pelukan terakhir kami.

***

Lelaki – Sekarang
Aku menarik batang kayu besar dan menaruhnya di samping makam yang kami buat tujuh belas tahun lalu. Diatasnya kami duduk bersampingan sambil terdiam karena sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ia menaruh bunga yang ia bawa di atas makam tadi. Sementara aku membuka kotak yang kubawa. Menaruh sebuah kue ulang tahun dan lilin berbentuk angka tujuh belas. Kutarik korek api dari kantung celana lantas mulai menyalakan lilin di atasnya. Dengan begitu saja kami memulai ulang tahun paling nelangsa sejagad raya.
Setelah lagu ulang tahun yang kami nyanyikan dengan sumbang. Kami mulai bercerita tentang penyesalan yang usang dan kata maaf yang terlambat datang. Lambat laun aku mulai sadar bahwa cincin kawin yang ia pakai adalah bukti sahih yang membuat hatiku teriris perih. Aku memberinya selamat sambil memasang topeng penuh senyuman yang menyesatkan.
Namun ia menangis. Ia merindukan anak yang tak pernah kami besarkan. Mengenang pernikahan yang tak pernah kami langsungkan. Dan mengingat ciuman yang dulu kami lakukan. Namun waktu tidak pernah merubah intuisi seseorang. Aku bertanya dengan lembut apa yang sebenarnya ia takutkan. Dengan bisikan yang hampir tak terdengar ia berkata bahwa rahimnya mendapatkan trauma seperti yang dialaminya. Tujuh belas tahun lalu ketika ia menggugurkan anak kami, ia pun turut menggugurkan kesempatannya untuk mendapat anak yang lain lagi.
Dan ketika ia selesai mengatakan hal tadi, suara jangkrik kembali berbunyi.

***

Wanita – Sekarang
Aku teringat tentang kenangan malam sunyi. Saat aku bercerita dan ia selalu menjadi pendengar yang setia. Tujuh belas tahun berlalu dan ia masih sama. Telinganya masih terbuka untuk kubacakan nyanyian senandung semesta. Namun kali ini, setelah aku berbagi kesedihanku padanya. Aku mulai bertanya.
Ia berkata ia masih sendiri. Sangat kuherankan mengapa itu terjadi. Entah berapa manusia kuhitung jatuh ke dalam pesonanya. Ketika aku bertanya sebuah alasan pasti, ia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh misteri.
Waktu sudah lewat dari tengah malam. Dan janji kami untuk bertemu kembali pun sudah terpenuhi. Sementara aku harus pergi untuk mengejar pesawat kembali. Ia berdiri dan menawarkan tumpangan untuk sampai ke bandara. Aku berjongkok sambil kembali melontarkan penyesalan yang tak berarti. Dan ia pun turut terdiam, membisikkan kata maaf yang terlambat untuk disadari.
Kami berjalan beriringan. Masuk ke mobil dan melindungi diri dari sentuhan angin malam. Kenangan masa lalu kembali mengalir deras. Sementara aku menatap kuburan anak kami, mobilnya berjalan menembus jalan. Mungkin aku tidak tahu apa yang akan ditawarkan hidup esok hari. Namun aku berbalik dan mengukir janji kepadanya untuk kembali lagi.
Dan ia setuju. Satu tahun lagi, di tempat ini. Kami akan kembali berkabung untuk masa lalu yang kami khianati dan masa depan lain yang tak mungkin kami miliki.


Jumat, 08 Mei 2015

[puisi] Lepas

Lepas


Mengapa ada pertemuan bila selalu berakhir dengan perpisahan?  Bahkan cinta paling sejatipun harus tunduk pada kematian. Lantas, mengapa kita mencoba untuk bertahan?

Seringkali kau berkata nikmatilah momen ini. Saat kau dan aku mencoba untuk saling mengerti. Saling mengenal dan saling melengkapi. 

Aku mencintaimu terlalu dalam. Dan kau berbisik dirimu kesakitan . Karena sinar mentari pagi pun dapat membakar. Dan angin semilir dapat memporak-porandakan. 

Lalu kita pun menjauh. Seperti ufuk dan senja. Layaknya pucuk dan tanah rata. Cintaku mencair pelan, seperti rintik hujan menuruni dinding bata. 

Mungkin kita harus belajar. Karena dalam setiap perpisahan, manusia mendapat pengalaman. Karena itu marilah kita belajar. Tentang ilmu melepaskan dan pelajaran mengikhlaskan. 

Mungkin kau akan terus hidup dalam bayangan. Dan aku akan terus hidup dalam kenangan. Karena itu aku berdoa biarlah datang padamu cahaya baru yang menghapus bayanganku di hidupmu. Dan dan doakanlah pertemuan baru padaku agar menghapus kenanganmu di hidupku. 

Mengapa ada pertemuan bila selalu berakhir dengan perpisahan? Karena kita akan terus belajar. Terus belajar sampai kita menjadi benar. Dan dalam kebenaranlah, pertemuan sejati dapat ditemukan