Minggu, 12 Oktober 2014

[Cerpen] Beth



Tiba-tiba saja aku teringat pada malam-malam saat istriku tidak bisa tertidur saat tubuhnya merasa pegal karena harus mengandung anak kami. Di tengah heningnya malam ia mulai membisikkan pertanyaan. Apa yang terjadi setelah sebuah cerita mencapai akhir? Apakah kehidupan karakter di dalamnya akan terus berjalan? Atau mati setelah sang penulis membubuhkan titik terakhir?
Dan seperti biasanya pertanyaan seperti itu tidak akan pernah terjawab. Otakku yang bodoh ini kadang tidak mampu untuk mencerna pemikirannya. Mungkin itulah salah satu kualitas yang kusukai dari istriku. Dapat membuat lelaki sepertiku menjadi terlihat bodoh di depannya.
Kenangan itu mulai memudar saat kemacetan jalan juga turut memudar saat aku memasuki kompleks perumahan kami. Jalanan tampak lengang seperti kuburan. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Aku membawa mobilku masuk ke dalam garasi. Sambil mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku pulang. Sepertinya sudah tiga hari. Namun terasa seperti tiga dasawarsa saja nampaknya.
Aku terdiam sejenak di dalam mobil. Sambil memikirkan pertanyaan itu lagi. Jika hidup kami adalah cerita dan Tuhan adalah penulisnya, apakah ia masih menuliskan kisah untuk istriku? Walaupun ceritanya sudah tamat dan mencapai titik terakhir? Aneh sekali rasanya membayangkan. Kisahku masih berjalan sementara kisahnya sudah berakhir. Bukannya kami sudah berikrar sehidup semati? Haruskah aku mengakhiri kisahku juga untuk menepati janji tersebut?
Tapi kemudian sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Jeritan tangis yang membuatku bertahan dengan untuk terus melanjutkan hidup. Aku pun menoleh ke arah kursi penumpang di sebelahku yang telah kupasang dengan baby car seat. Kisah istriku mungkin sudah mencapai titik terakhir. Tapi kisah anak kami bahkan belum selesai di bab pertama. Dan sudah tugaskulah untuk menjaganya sampai kisahku sendiri yang akan mencapai titik terakhir.

***

Istriku juga pernah bertanya demikian. Jika semua kata sifat itu relatif, adakah yang mutlak dalam sifat suatu benda atau makhluk hidup? Jujur saja aku tidak mengerti maksud pertanyaannya waktu itu. Tetapi sekarang aku paham benar apa yang ia maksud.
Waktu suster mengajariku cara membuat susu formula di rumah sakit. Ia memberitahuku kalau susunya harus hangat. Jangan panas jangan pula terlalu dingin. Tapi setelah sampai di rumah dan aku mempraktekan hal yang sama. Kulit tanganku mulai melupakan memorinya. Sehangat apakah susu ini harus dibuat?
Bayiku tidak berhenti menangis sedari tadi. Mungkin ia lapar. Atau mungkin ia hanya menangisi nasib buruknya saja yang harus mempunyai ayah seburuk aku. Setelah hampir lima menit aku mencampur air ke dalam botol susu dan mencobainya ke telapak tanganku, aku mulai menyodorkan susu itu ke mulutnya. Khawatir sangat kurasakan. Bagaimana kalau susunya terlalu panas? Atau mungkin terlalu dingin? Mungkin juga botolnya belum steril atau susunya masih menggumpal?
Tapi sepertinya kekhawatiranku tidak beralasan. Ia mulai menyedot susu itu dengan semangat. Mau tak mau aku merasa sedih. Umurnya belum menginjak sebulan dan ia sudah harus meminum susu artifisial seperti ini.
Seketika aku jadi rindu pada istriku. Kata sifat ternyata memang relatif. Rinduku saat ini terasa jauh lebih menyakitkan dibandingkan saat pemakamannya. Walaupun waktu itu aku merasakan rindu yang paling rindu di dalam hidupku. Rinduku kali ini terasa semakin membelenggu.
Diam-diam aku melirik ke arah dinding rumah kami. Dimana semua pigura yang dulunya memajang foto istriku sudah kubalik menghadap dinding. Menyisakan kertas berwarna cokelat yang menghiasi bingkai foto di rumah ini. Aku sendiri lupa kapan aku melakukan hal itu. Kemungkinan saja sehari atau dua hari setelah kematiannya. Yang juga berarti sehari atau dua hari setelah kelahiran anakku.
Sesaat setelah bayiku tertidur dan aku mencoba melakukan hal yang sama. Aku membuka bajuku dan berjalan dalam ketelanjangan menuju kamar mandi. Mencoba membasuh tubuhku yang terasa berkeringat sedari tadi. Tapi tetap saja hangatnya air tak mampu membuat hangat perasaanku yang kutahu sudah dingin membatu.
Istriku menyukai keteraturan. Kalian harus tahu hal itu. Maka ketika ia membelikan satu set piyama berpola sama untukku, dirinya, dan bayi kami. Waktu itu kami hanya tertawa optimis. Mencoba membayangkan kebahagiaan yang akan kami rasakan nantinya. Tapi sekarang, setelah  melihat tiga stel pakaian tersebut. Sesak yang kurasakan di hari kematiannya datang lagi membelitku.
Mungkin aku bisa saja mencoba untuk membalik semua bingkai foto berisi dirinya. Atau tidur hanya memakai celana piyama tanpa memakai baju berpola sama yang ia beli. Tapi ketika aku akan menggosok gigiku, sikat giginya dan milikku masih bertengger di sana. Di gelas plastik tinggi berwarna hijau. Seakan-akan mengejek, ‘hey, kami saja masih berdua. Kasihan sekali kau harus sendiri malam ini’.
Aku tahu butuh waktu untuk tidak merasakan lagi sesak di dalam dadaku. Malam itu, aku tidur tanpa memakai baju ataupun sehelai selimut. Hawa dingin pendingin ruangan membelai tubuhku. Dengan sengaja kupasang mesin itu di suhu terendah. Aku tahu aku akan menggigil kedinginan. Tapi setidaknya rasa sesak itu tidak akan kurasakan karena terkalahkan oleh dingin yang mendekapku dengan kejam.

***

Beratnya hanya tiga koma enam kilo. Dengan panjang empat puluh dua koma tujuh sentimeter. Tapi siapa yang menyangka makhluk sekecil itu mampu mengeluarkan tangisan sekeras hujan badai di musim topan. Sudah beberapa kali aku terbangun mendengar suara tangisnya. Saat itu terjadi aku akan menggendongnya perlahan dan membuainya di gendonganku sampai ia kembali terlelap.
Aku seakan melayang. Ia kembali menangis dan kini aku sedang berjalan mondar-mandir di dapur. Entah sudah berapa kali siklus ini terulang. Mataku seakan digantung dengan batu yang berputar. Tak mampu untuk kubuka. Bayi kami masih menangis saat aku membuka kulkas. Di tengah tumpukkan kotak makanan yang dibawakan teman-temanku, aku mengambil sebotol air dan mulai meneguknya.
Perlu kalian ketahui kalau aku masih menggendong bayi kami dengan satu tangan saat aku meneguk air. Dengan cerobohnya tutup botol itu tergelincir dari tanganku dan jatuh tepat di kepala makhluk kecil itu. Aku panik. Ia mulai menangis dengan keras. Perlu beberapa waktu bagiku untuk menenangkannya. Dan saat ia mulai kembali tenang. Aku menaruhnya lagi di dalam tempat tidur kecilnya. Untung saja aku tidak menyisakan luka di keningnya. Ketika aku benar-benar yakin kalau ia sudah tertidur pulas, aku kembali ke kamarku. Mencoba menyambung tidurku yang sedari tadi terputus.

***


Sudah pukul empat pagi saat aku duduk di ranjangku. Uap dingin tampak menguar dari lantai ruangan ini. istriku dulu pernah berkata kalau kita tidak tidur selama empat hari berturut-turut maka pikiran kita akan mulai memproduksi halusinasi. Sejujurnya aku memang hanya tidur selama dua sampai tiga jam saja sehari. Setidaknya selama sebulan terakhir. Mungkin saja efeknya sama. Aku mulai berhalusinasi sekarang.
Dengan secercah keraguan kuambil bingkai foto kecil yang bertengger di meja yang ada di samping ranjangku. Foto di dalamnya sudah dibalik. Dengan penuh kantuk kukeluarkan foto itu dan kulihat kembali isinya. Sambil bertanya-tanya seberapa besarkah usaha yang perlu kukeluarkan untuk menghapus rindu ini.
Apakah sebesar usahaku untuk menyebut ranjang kami menjadi ranjangku?
Atau bayi kami menjadi bayiku?
Kutekan erat foto itu didadaku. Seakan-akan dengan begitu gambaran dirinya akan terceplak di sana. Tak akan terhapus bahkan saat memoriku menua dan tak mampu lagi mengingat rupa.
Kurasakan kulit punggungku yang telanjang mulai dicumbui kain selimut. Aku menatap langit-langit kamarku. Merasakan dadaku mulai penuh. Entah dengan kelelahan atau emosi yang tak tertahan. Diam-diam, suaramu mulai mengelus telingaku, memanggil-manggil namaku.
“Kenapa kamu pergi?” Tolehku lamat-lamat. Karena di sisiku ia sudah menatap lekat-lekat.
Tapi ia hanya tersenyum. Tanpa membalas pertanyaanku.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Jika kamu bisa memilih antara aku dan anak kita, manakah yang akan kamu pilih?”
“Jadi, ini adalah pilihanmu?”
Lagi-lagi ia tersenyum, “Aku hanya manusia biasa. Tidak akan mungkin Tuhan memberikan pilihan seperti itu padaku. Tapi kalau memang aku bisa memilih maka inilah pilihanku.”
Aku mengangkat tanganku dan mulai menyentuh pipinya. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, nyatakah ini semua?
“Jika kamu bisa memilih. Apa yang akan kamu pilih?” ia bertanya padaku.
Tapi aku hanya diam. Tak mampu berkata apa-apa.
Dari kejauhan aku mendengar suara bayi yang menangis. Awalnya terasa jauh. Tapi lambat-laun tangisan itu terdengar semakin dekat. Aku menatap dirinya lekat. Menikmati senyuman yang terpancar di matanya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan. Muka istriku mendekat. Ia mencium bibirku singkat lalu berkata di telingaku dengan cepat. “Jaga anak kita.”
Sekedip mata ia menghilang. Dan sekedip mata pula tangisan itu mengencang. Perlu beberapa detik bagiku untuk sadar dari apapun yang terjadi barusan dan beranjak untuk menenangkan bayiku.
Ralat, bayi kami.

***

Awalnya aku sangat ragu untuk membawa bayiku pulang. Butuh waktu tiga minggu bagiku, dan para dokter, untuk menyakinkan diri bahwa aku harus membawa bayiku pulang. Aku takut aku tak bisa menjaganya. Atau malah secara tak sengaja bukan tak mungkin aku membunuh bayi ini. Maksudku, umurku belum menginjak seperempat abad. Pengalamanku dalam hidup ini tidaklah terlalu banyak. Aku bahkan tidak yakin dapat menjaga diriku sendiri semenjak kematian istriku.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi dan beralasan sekarang. Ia tidak berhenti menangis. Walaupun susu sudah kuberikan dan popoknya sudah kuganti. Aku menggendongnya sambil berjalan mondar-mandir di sekeliling dapurku. Dengan irama yang teratur kuayun tubuh rapuhnya dalam gendonganku. Tapi tetap saja ia tak bergeming.
Dapat kurasakan air matanya mulai mengalir turun di dada telanjangku. Apa yang harus kulakukan? Apa ada yang salah dengan perawatanku sedari tadi? Dapat kurasakan kalau tangisnya mulai mengeluarkan suara kering. Seakan-akan udara di paru-parunya mulai habis. Aku mulai panik, dengan emosi itu semakin kuayun tubuhnya tanganku.
Tapi ia tak juga berhenti menangis. Napasku mulai sesak. Ketakutan yang luar biasa mulai mencengkeramku dengan kejamnya. Ia menangis. Aku pun mulai ikut menangis. Mungkin hanya keheningan malam saja yang tegar menjalani hidup ini. Tanpa adanya tangis dan kesedihan seperti yang kami berdua rasakan.
Entah mengapa tangisku semakin tak terkendali. Aku mulai merebahkan punggungku dan jatuh terduduk. Bodoh sekali sebenarnya, mengapa malah tangisku melebihi tangisnya sekarang. Entah berapa lama aku tersedu-sedu sambil terus mengayunkan tubuhnya saat kusadari kalau hanya tangisku yang terdengar.
Dapat kulihat bahwa hidung bayiku tertutup lendir yang membanjir. Dengan segera aku berdiri dan beranjak ke kamarku, tempat tas bayi yang kubawa dari rumah sakit terletak. Satu tanganku yang bebas bergerak liar mencari alat penyedot ingus. Bahkan aku tak sempat untuk mensterilkannya dulu sebelum aku mulai memakai alat itu.
“Masukkan ke hidungnya pelan-pelan,” ujarku kepada diri sendiri saat aku melakukan hal itu. Lambat-lambat lendir di hidungnya mulai berpindah. Bayiku mulai mengeluarkan suara yang sulit kudeskripsikan. Saat cairan itu sudah berpindah semua, dapat kulihat matanya menatapku lekat. Manik matanya menancap mataku dengan lembutnya.
“Ini ayahmu, Nak,” bisikku. “Ini ayahmu.”

***

Matahari mengintip malu-malu saat aku membawanya ke beranda rumahku. Dalam palungan selimut dan dekapan tanganku aku membawanya melihat matahari pertama di rumah kami.
Entah mengapa aku merasa damai sekarang. Bayiku sedang asyik dibuai mimpi sekarang. Mungkin ia bermimpi bertemu dengan ibunya. “Titipkan salam cintaku padanya, Nak,” bisikku tepat di telinganya.
Ajaibnya ia tersenyum saat aku membisikkan hal itu. Senyumnya bahkan berhasil menular di bibirku. Aku membiarkan bibir mungilnya menyedot ujung telunjukku saat aku mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang berjudul sama dengan namanya dan nama ibunya.
Tiba-tiba saja mengetahui jawaban dan alasan dari pertanyaan istriku. Jika aku harus memilih, tentu saja aku akan mengorbankan diriku sendiri agar anak ini lahir. Agar ia mendapat kesempatan untuk bernapas di muka bumi ini. Agar ia dapat menikmati cerahnya hangat mentari dan damainya udara pagi.
Dan saat matahari sudah benar-benar terbangun dari lelapnya. Aku menengadah menatap awan dan berucap dengan penuh rasa sayang, “Terima kasih, Beth!”